Rabu, 03 November 2010

Ngopi2KueSerabi: Tanya?

Ngopi2KueSerabi: Tanya?

SIMFONI IRONI

Sepuluh tahun aku menikah dengan suamiku. Berbagai cara telah kami lakukan agar kami mendapatkan keturunan. Mulai dari suntik hormon, sampai kami bayi tabung yang biayanya ratusan juta, tak sekalipun kami berhasil mendapatkan keturunan. Menurut dokter, tak ada yang salah dengan kami. Tak ada masalah dengan rahimku, tak ada yang salah pula dengan sperma suamiku.
Suamiku tak pernah sekalipun menyalahkanku, atau menyalahkan dirinya sendiri. Dia selalu tenang, optimis dan penuh kasih sayang. Disaat keluarganya mulai mempertanyakan serta pesimis akan kondisi rahimku, dia memelukku dan dengan lembut berbisik ditelingaku “Allah belum kasih kepercayaan pada kita untuk menitipkan malaikatnya..” hanya dengan pelukannya aku merasa sedikt tenang. Meskipun jauh di dalam hatiku, kerinduanku membuncah ingin segera mempunyai sesosok mungil yang akan ku panggil sebagai “anakku”.
Pagi itu berkabut, saat suamiku menyampaikan kabar paling buruk dalam hidupku. Ibu mertuaku sedang sekarat. Beliau di vonis kanker leher rahim stadium 4. Kami bergegas menuju rumah sakit tempat beliau dirawat. Beliau menyampaikan permintaan terakhirnya, yaitu menginginkan cucu, benih dari suamiku. “Ibu, kumohon bersabarlah, kami sudah berusaha semampu kami..” kata suamiku saat mendengar permintaan sang ibu. “Menikahlah dengan Sani. Segeralah berikan ibu seorang cucu, sebelum ajal menjemput ibu.” Ibu mertuaku menyahuti perkataan suamiku dengan tegas, aku hanya bisa menangis.
Sani adalah teman kuliah kami. Ibu mertuaku memang menyukainya. Sani adalah golongan ningrat, sama seperti suamiku. Berbeda denganku yang terlahir dari keluarga petani desa. Awal pernikahan kami juga ditentang oleh keluarga besar suamiku, terutama ibunya. Namun takdir berkata lain, kami akhirnya benar-benar menikah. Sekarang, setelah 10 tahun pernikahan dan aku tak kunjung mempunyai keturunan, keluarganya kembali membenciku.
aku benar-benar merasa hancur mendengar permintaan mertuaku. Aku tahu suamiku ingin berbakti pada ibunya serta membahagiakan ibunya, namun aku tak kunjung bisa berputera. Aku ingin membalas kebaikan serta kesabaran suamiku selama ini, dan yang bisa kulakukan hanyalah menuruti permintaan ibunya. Suamiku meneteskan air mata seraya memelukku saat aku mengatakan aku mengijinkannya dengan ikhlas untuk menikahi Sani.
Wajah bahagia mertuaku seakan bisa menghalau penyakit yang sedang dideritanya. Untuk pertama kalinya dia memelukku seraya berucap terimakasih karena mengijinkan puteranya untuk menikah lagi. Dalam hati aku menangis, aku tak pernah rela berbagi suami dengan siapapun.
Tiga bulan setelah pernikahan, Sani hamil. Betapa girang mertuaku mendengar kabar itu. Dia terus menerus memuji Sani seraya membandingkannya denganku. Beruntung, suamiku tak pernah mencintai wanita itu sebesar cintanya padaku. Suamiku lebih banyak menghabiskan waktu dikamarku, memelukku, sampai tertidur di sampingku. Aku tahu, dia tak ingin membuatku tersakiti. Betapa aku sangat ingin menjadi Sani, yang akan segera mempunyai putera, benih dari suamiku.
Alangkah sedihnya suamiku saat ibunya meninggal, tepat dikala Sani melahirkan. Beliau tak pernah menimang cucu yang sangat beliau dambakan, bahkan setelah memaksa suamiku menikahi wanita lain. Saat itulah aku sadar, betapa cinta adalah simfoni ironi yang mengalun tak putus-putus akan pengorbanan dan air mata demi sesuatu yang bermakna “bahagia”.

Rabu, 20 Oktober 2010

OMPONG

Hera menunduk di ruangan dokter gigi yang berbau seperti cairan pembersih lantai. Di meja dokter itu terlihat ada dua gigi depannya yang baru saja di cabut. Dokter muda cantik itu mengatakan bahwa kedua gigi depannya sudah membusuk dan mulai menghiam, jadi sebaiknya dicabut sebelum membuat sakit giginya semakin parah. Dengan pasrah Hera mengangguk mengiyakan. Memang tidak sakit rasanya. Tapi satu yang Hera khawatirkan, bagaimana rupanya kelak tanpa gigi depannya? Ompong jelas seperti nenek-nenek. Memang ada alternatif gigi palsu, tapi menurutnya gigi palsu tidak akan seperti gigi asli, lagipula Hera kenal seorang bibi diseberang rumahnya yang memakai gigi palsu dan bau mulutnya luar biasa busuk. Hera tidak mau bernapas bau. Apa kata teman kuliahnya nanti? Cantik-cantik ompong? Atau cantik-cantik bau mulut?
Perlahan dia mulai berlinangan air mata. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia beranjak meninggalkan ruangan dokter itu. Dia berjalan tanpa arah memikirkan kenapa sampai giginya ompong. Yah, Hera adalah seorang cewek super modis yang sangat memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi sepertinya hal itu tidak benar, buktinya gigi depannya malah bolong. ’Ini pasti gara-gara gulali’ pikirnya. Hera memang sangat menyukai gulali, hampir setiap saat dia selalu makan gulali, berkali-kali diperingatkan mamanya untuk mengurangi mengkonsumsi yang manis-manis karena dia cenderung mewarisi diabetes dari ayahnya, tapi tidak pernah Hera hiraukan. Kini saat kedua giginya sudah menjadi korban, baru Hera sesali semua kebiasaannya itu. Diapun menyeka air matanya, kembali ke tempat dokter gigi, meminta dipasangi gigi palsu yang paling bagus.
Sejak saat itu Hera membenci gulali, tidak hanya gulali, dia membenci semua makanan manis. Dia hanya minum air putih, tidak mau menyentuh buah-buahan yang manis. Satu hal yang nampaknya Hera tidak sadari, bukan gulali yang menyebabkan kedua giginya ompong, tapi malah dirinya sendiri yang makan gulali tanpa henti. Dia tidak menyadari sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik. Dan bukannya berkaca akan kesalahnnya sendiri, Hera menumpahkan kebenciannya pada gulali.

HELENA


Dua tahun aku mengenal Helena. Gadis dengan mata abu-abu dan rambut hitam serupa malam. Sosok yang misterius, tidak mengijinkanku menceritakan sosoknya pada siapapun, tidak pada teman-temanku, terutama tidak pada keluargaku: ibuku. Aku tak tahu apa alasannya. Setiap kutanyakan, ia hanya tersenyum sendu. Kupikir itu karena masa lalunya yang suram. Ia takut tidak diterima semua orang. Dia pernah bercerita dia adalah anak yang terbuang, orang tuanya tidak pernah menginginkannya ada. Aku selalu iba jika memandang wajahnya yang sendu. Aku bisa merasakannya, sama seperti dia bisa merasakanku. Kami benar-benar seperti sekeping mata uang, berbeda, namun tak pernah bisa dipisahkan.
Dua tahun lalu, aku mengenalnya setahun tepat setelah kepergian Dean kekasihku. Dean yang sangat kukasihi, dinyatakan hilang, sama seperti smua penumpang pesawat yang entah dimana. Puing pesawatnya tak pernah ditemukan sampai sekarang. Aku bahkan sering berharap Dean akan membawakan seikat lili segar didepan rumahku seperti biasanya. Saat aku menarik diri dari segala hal menyakitkan mengenai kerinduanku akan Dean, dan memilih tidak mau berbicara dengan siapapun, Helena muncul sebagai sosok yang sangat memahamiku. Tidak ada yang dilakukannya saat itu. Dia hanya duduk disebelahku sementara aku menangis meraung-raung di sudut taman dibawah hujan. Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa iba setiap melihat raut wajahku. Tidak pula seperti ibuku yang selalu berkaca-kaca melihat kepedihan di mataku. Helena disampingku, tanpa ekspresi berarti di wajahnya, menungguiku berhenti menangis, lalu tersenyum, dan pada detik itu aku percaya padanya sepenuh hatiku.  
Hari ini aku kembali menekuri album fotoku bersama Dean dengan bersimbah air mata. Detik itu pula Helena muncul disampingku, diam seperti biasanya. Bukan hal yang aneh, dia memang suka muncul tiba-tiba saat aku merasa sedih dan kesepian. Awalnya aku bertanya bagaimana dia bisa masuk kamarku tanpa diketahui ibuku serta pembantuku. Dia selalu menjawab dengan senyuman. Senyuman yang selalu mengisyaratkan tak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai bagaimana caranya dia sampai. Helena memang tidak banyak bicara, dia hanya akan berbisik lirih apabila dia ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang kebanyakan adalah saran dan dukungan buatku. Entahlah, aku selalu merasakan kedamaian saat dia memelukku, aku selalu tertidur di bahunya, dan saat aku terbangun dia sudah tidak ada disampingku.
Aku memutuskan untuk keluar dari zona amanku. Aku ingin keluar ke dunia. Aku tak tahan lagi melihat kecemasan yang membayang di wajah ibuku. Kusadari, muncul beberapa keriput yang sebelumnya tak pernah kulihat di di wajah ibuku. Kucium pipinya serta memaksakan diri untuk tersenyum. Ibuku selalu memberikan tatapan itu, tatapan yang selalu diselimuti bayang airmata, aku sungguh tak tahan melihat kepedihannya. “Aku baik-baik saja ibu” kataku waktu itu. Sepertinya dia tak semudah itu untuk percaya, dan sebelum dia mengasihaniku dengan kata-katanya, aku memilih menyingkir. Kembali ke zona amanku, di dalam kamarku yang tak pernah terkunci, menunggu Helena. Benar saja, tak lama Helena muncul, duduk diam disampingku, namun dengan wajah yang lebih sendu daripada biasanya. “Kamu kenapa Helena?” tanyaku, cemas. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku yakin dia tak kan mau bercerita apa-apa. Tapi aku ingin memaksanya bercerita, aku ingin membantunya, sahabat harus saling berbagi bukan? “Aku akan pergi” jawabnya lirih, sambil menundukkan mukanya. Jawabannya sungguh membuatku terkejut. Aku panik, aku tak bisa kehilangan Helena, dia seperti seluruh duniaku saat ini. “Kemana? Kenapa kau ingin pergi? Kau tak ingin menemaniku lagi? Apa aku bertingkah menyebalkan? Kau tidak boleh pergi dariku, tidak boleh!!” aku menyemburkan berbagai pertanyaan itu sambil mondar-mandir di depan Helena. “Tenanglah” ujar Helena disaat aku mulai kehilangan kendali, histeris memohon-mohon padanya, mulai menangis tanpa henti, mencakari diriku sendiri, membenturkan kepalaku ke dinding dan ingin merenggut lepas semua rambut dikepalaku.
Saat aku terbangun, aku mendapati diriku di ruangan berbau cairan penggosok lantai pada sebuah ranjang berwarna putih, dengan selang menempel di tanganku, di hidungku serta menemukan ibuku di saampingku. Apa yang terjadi? Aku tak ingat banyak, aku hanya ingat saat aku panik, serta mencoba melukai diriku sendiri karena Helena akan pergi. Apakah Helena yang membawaku kesini? Tapi ada ibu disini, apakah ibu bertemu dengan Helena? Dalam hati aku lega, tampaknya Helena juga mulai membuka diri pada keluargaku, pada satu-satunya keluargaku, yaitu ibuku. “Ava, kamu sudah bangun?” Ibuku membelai lembut rambutku, lalu mengecup keningku. “Aku kenapa bu? Mana Helena?” jawabku seraya beringsut duduk di tempat tidur, kepalaku terasa berat. “Helena? Semalaman kau menyebut-nyebut namanya terus” Aku terkesiap, jadi ibu belum tau siapa Helena? Ah, aku membuka rahasia kepada ibuku bahwa aku mengenal Helena. Semoga Helena tidak marah, lantas meninggalkanku. Sisi hatiku kembali terkoyak, semalam Helena sudah berkata akan meninggalkanku bukan? Dia tidak disini, dan dia tidak bertemu ibuku, dia pasti sudah meninggalkanku, jauh sebelum ibuku membawaku kesini. Bulir-bulir air mata mulai membanjiri wajahku. Ibuku masih dengan ekspresi pilunya, mulai menghapus air mata dipipiku. “Sayang, kau jangan berpikir yang tidak-tidak. Ibu tidak tahu kau punya teman yang bernama Helena.” Aku merasa lelah dan marah pada Helena. Kenapa dia harus menyembunyikan dirinya? Mengapa dia harus meninggalkanku? Selama ini hanya dia yang bisa mengerti aku, hanya dia yang bisa memberikanku ketenangan setelah kehilanganku akan Dean.
“Ava, dengarkan ibu nak, kau tak pernah punya teman lagi, sejak kepergian Dean. Kau menarik diri dari kami semua, dari ibu, dan dari teman-temanmu. Kau tak pernah bisa ibu ajak bicara, tatapan matamu juga kosong. Kau memang selalu menyebut-nyebut nama Helena setelah kau menyebut nama Dean dalam tidurmu, bahkan semalam kau berteriak histeris seperti kesurupan meneriakkan nama Helena, kemudian kau kejang, lalu pingsan, ibu.. Ibu..” ibuku tak sanggup melanjutkan kata-katanya, air matanya meleleh, dan ia mulai sesenggukan. Kuputuskan aku akan memberitahunya siapa itu Helena. Aku tak tega melihat ibuku, ternyata selama ini aku telah menyusahkannya sedemikian dalam. “Ibu, kau memang tak pernah mengenal Helena. Dia sahabatku selama dua tahun ini, sejak kepergian Dean. Aku memang memilih menyendiri bu, aku tak sanggup melihat rasa kasihan dan iba semua orang terhadapku. Disaat itu, aku menemukan Helena, tidak, Helena yang menemukanku. Dia tidak pernah memberiku tatapan iba, dia tidak pernah mengasihaniku, bahkan dia cenderung tak pernah bicara. Tapi aku nyaman bersamanya bu, semalam dia dikamarku, dia mengatakan akan pergi, dan aku melihat raut kesedihan yang dalam di wajahnya. Aku tak sanggup kehilangan dia bu, ibu tidak melihatnya semalam? Dia ada dikamarku semalam bu!” aku mulai panik, dorongan menyakiti diriku sendiri untuk menghalau kesedihan pun meluap kembali. Aku mencoba menarik-narik rambutku lagi, ibuku menangis, memencet tombol di tempat tidurku, lalu orang-orang berseragam putih menyuntikkan cairan bening pada infus yang membelit pergelangan tanganku, dan aku mulai tenang, serta merasa sangat mengantuk.
Aku tak ingat berapa lama aku tertidur, saat terbangun aku mendapati Helena tersenyum disamping ibuku yang tengah memandangiku. Sontak aku merasa sangat berbahagia, Helena disamping ibuku! Mereka pasti sudah berkenalan kan? Ibuku tak perlu khawatir padaku lagi, aku akan meminta ibuku mengijinkan Helena tinggal dirumah kami. “Ada apa Ava? Kau merasa lebih baik?” ibuku bertanya dengan lembut. Aku mengangguk, mataku lekat menatap Helena. “Helena, kau sudah berkenalan dengan ibuku bukan?” kuulurkan tanganku menyambutnya, Helena tetap diam. Senyuman masih terpatri di wajahnya. “Helena, kenapa diam saja? Ayolah katakan kalian sudah berkenalan. Ibuku orang yang baik, dia takkan memperlakukanmu seperti orangtuamu..” “Sst..” Helena menempelkan telunjuk dibibirnya yang mungil. Aku menatap ibuku yang keheranan, ibuku menoleh kearah tatapan mataku. “Helena?” “Iya ibu, itu Helena, lihat, dia cantik kan? Matanya berwarna abu-abu, rambutnya hitam sekali. Ibu sudah berkenalan kan dengannya?” Ibuku melelehkan kembali air matanya dan aku merasa bingung. Kenapa ibu menangis? Ibu tidak menyukai Helena? Sementara itu kulihat Helena sudah tidak ada diruangan ini. “Istirahatlah lagi Ava” ibuku membetulkan letak selimutku, kugenggam tangan ibuku, “Kenapa ibu tidak mau menyapa Helena? Dia tersinggung bu, dia bahkan pergi tanpa berpamitan dengan kita!” emosi mulai menguasaiku lagi. “Tenanglah sayang, jangan terpancing emosimu lagi, atau para dokter itu akan..” “Akan apa? Mengikatku di kursi karena aku mengenal Helena? Karena aku tak mengerti kenapa ibu tidak menyukai Helena?” balasku. “Tenanglah, ibu tak suka melihatmu dijejali berbagai obat penenang. Tenanglah sayang ibu mohon” Ibuku terisak-isak. “Jelaskan bu. Jelaskan semuanya padaku. Kenapa ibu menangis seperti itu? Sebegitu buruknyakah Helena?”
Ibuku menegakkan kepalanya dan mulai memberondongku dengan kata-kata  “Berhentilah menyebut Helena! Kita semua tahu kan, tidak ada yang bernama Helena. Tidak ada siapapun diruangan ini. Hanya ibu dan kau! Berhentilah menipu dirimu, dengan menganggap kau punya teman bernama Helena! Tidak Ava, tidak pernah ada yang namanya Helena. Selama ini kau seperti mayat hidup, yang kosong tanpa jiwa. Tatapan matamu kosong, kau hanya menjawab bila ditanya, lalu masuk kekamarmu. Kau berterik-teriak dalam tidurmu, meneriakkan Dean, meneriakkan Helena. Berhentilah sebelum kau menjadi gila!” ibuku mengatur nafasnya yang memburu lalu melanjutkan kata-katanya “kau tahu kan, ibu hanya punya kau, dan kau hanya punya ibu. Ibu tahu kau sangat terpukul atas hilangnya Dean, kau pikir ibu tidak bersedih melihatmu hidup seperti itu? Kau mulai berhenti bicara pada ibu, kau tidak mau kuliah, dan kau menarik diri dari lingkunganmu. Sungguh ibu ingin merengkuhmu dalam pelukan ibu, ingin kau menumpahkan tangismu didada ibu, tapi kau menjauhi ibu, ibu tak kuasa memaksamu. Jika kau sedang merasa kalut, kau menyakiti dirimu, menampari wajahmu, bahkan mencoba menyayat tanganmu sendiri. Berhentilah sayang, berhentilah, ibu mohon.” Ibuku menghela napas panjang, lantas memotong ucapan yang sedianya akan keluar dari bibirku “Diamlah. Ibu belum selesai bicara. Dua tahun ini, memang kau banyak berubah, kau tak lagi sering histeris memanggil nama Dean, tak lagi menyakiti dirimu sendiri, namun kau jauh lebih misterius dari tahun pertama hilangnya Dean. Kau jauh lebih diam, sering keluar rumah tanpa berpamitan, berkeluyuran kejalan-jalan, dan kau sering mengurung dirimu. Kau tahu? Ibu dan pembantu kita sering mendapatimu bicara sendirian, memeluk gulingmu seolah kau memeluk seseorang dan sekali lagi, kau menyebut-nyebut Helena.”
Benarkah aku separah itu? Memang aku merasa aku menarik diri, tapi menyakiti diri? Histeris? Tatapan kosong? Aku tak ingat, hey bahkan ibuku mengatakan aku berbicara sendiri? Memeluk guling? Ibuku tidak melihat Helena dan bahkan dia menganggapku mulai gila! Apakah ibuku hanya berpura-pura tidak melihat Helena? Apakah ibuku membenci Helena? “Bu, kau tahu itu tak benar kan? Oke, mungkin memang aku menarik diri, tapi aku tidak gila bu. Apakah kau pikir aku hanya berkhayal berteman dengan Helena? Oh kumohon bu, jangan membuatku seolah-olah aku gila betulan.” Ibuku menggeleng “Sadarlah Ava! Behentilah membohongi dirimu dan menganggap Helena itu ada. Kau bilang dia disini? Tidak! Kau bisa bertanya pada perawat diluar pintu kita yang berjaga-jaga untuk menenangkanmu jika kau mengamuk. Apakah mereka melihat Helena? Tidak! Tidak ada yang melihat Helena! Berhentilah meracau tentang Helena! berhentilah membangun pertahanan dirimu melalui Helena, melalui khayalanmu. Kembalilah pada ibu nak, ibu mohon..” sekali lagi ibuku menangis. Aku merasakan hatiku sakit. Benarkah aku berkhayal? Tidak mungkin, sosok Helena begitu nyata. Apakah Helena hantu? Ah aku tak percaya ada hantu di jaman seperti ini. Tidak, ini pasti ada penjelasannya, kenapa ibuku bersikeras tidak melihat Helena? Sejuta pertanyaan berpusar dikepalaku, aku merasa akan muntah. Sekali lagi aku merasa sangat sedih, aku tak tahan pedihnya, aku mulai berteriak-teriak meminta ibuku diam, dan sekali lagi, perawat-perawat berbaju putih itu menyuntikkan sesuatu ke selang infusku.
Aku menolak dorongan kantuk dimataku untuk memaksa pikiranku mengingat masa-masa bersama Helena. Di kamarku, di taman di ujung jalan, serta berjalan-jalan di sore hari mengitari perumahan. Memang aku merasa beberapa mata memandangku dengan tatapan aneh saat aku keluar dan bercanda dengan bersama Helena. Awalnya kupikir mereka heran aku berteman dengan Helena yang tak jelas asal-usulnya. Namun kini aku khawatir, apakah mereka tidak melihatnya juga? Samar-samar kuingat perkataan ibuku mengenai pertahanan diri. Benarkah aku memunculkan sosok Helena dalam anganku, untuk menjadi sosok yang mengerti aku, sosok diam tanpa kata yang kudambakan menjadi sahabatku untuk memberikanku ketenangan akibat kesedihanku kehilangan Dean? Semua berpusar cepat dalam kepalaku. Aku tak mau menyerah, aku tak mau terlelap. Samar-samar kudengar ibuku berbicara dengan dokter di luar kamar, dokter itu mengatakan hal yang sama seperti pikiranku tadi. Bahwa sosok Helena hanyalah rekaan imajiku, untuk mepertahankan diri atas kesedihan yang kupikul. Dokter itu menyarankan ibuku untuk mengatur jadwal dengan psikiater, guna kesembuhan mental dan batinku. Aku masih tak percaya, Helena itu nyata! Aku yakin itu. Aku merasakan kehadiran seseorang secara tiba-tiba di samping ranjangku. Benar, itu Helena, masih dengan mata sendunya. Aku ingin mengadu semua padanya, saat akan kusentuh, dia menghilang. Sekali lagi aku merasa sangat sakit hati, namun aku tak mampu menangis.
Berhari-hari aku dirawat disini. Ibuku tak pernah meninggalkanku sendirian. Sesekali datang perawat membawakan obat dan makanan. Aku menolak melakukan apapun. Aku memilih diam. Aku tak mau lagi berpikir apapun. Aku masih sering melihat Helena berdiri dengan ekspresi khasnya, sendu, terkadang tersenyum menabahkan hatiku. Aku tak mau memberitahu ibuku, toh dia tak kan percaya. Aku berhenti memikirkan Dean, hatiku sakit sekali mengingatnya, dan aku takut, aku akan berhenti memikirkan Helena juga. Aku sungguh-sungguh melumpuhkan semua emosiku. Aku ingin menangis dan berteriak agar ibuku meninggalkanku saja, membiarkan seseorang disini menyuntikku mati. Aku sungguh tak ingin melakukan apa-apa lagi. Aku makan disuapi oleh ibuku, aku ke toilet dipapah oleh ibuku. Aku benar-benar tak ingin hidup. Ibuku semakin terlihat tua dengan keriput di wajahnya. Selang beberapa lama, aku dibawa pulang. Tak ada kemajuan apapun padaku. Aku tetap terbaring di ranjang, menolak melakukan apapun. Menolak memikirkan apapun, aku bahkan mengacuhkan Helena.. Aku tak pernah menemukan jawaban apapun mengenai apa dan siapa Helena. Pernah suatu waktu, perempuan cantik dengan mata lembut mendatangiku bersama ibuku, dialah psikiaterku. Suaranya renyah, pandangan matanya meneduhkan. Aku hampir mempercayainya seperti mempercayai Helena. Namun ketakutan akan kehilangan kembali menghantamku. Aku menolak bekerja sama. Aku memilih diam. Dia bahkan berusaha menghipnotisku, namun dari hasil pembicaraannya yang kudengar, hipnotis itu hanya membuahkan hasil aku berteriak-teriak memanggil Helena. Saat ibuku meninggal, itu tak berakibat apapun padaku. Emosiku benar-benar lumpuh. Sekarang, aku ditinggalkan dalam kamar berdinding busa, dengan Helena menemaniku setiap hari. Entahlah mungkin ini rumah sakit jiwa, entahlah aku tak ingat siapa yang membawaku kesini. Aku hanya ingin segera mati, tak ingin bagun lagi.

Senin, 11 Oktober 2010

Penjual peti mati berdoa setiap malam agar banyak yang mati buat biaya istrinya melahirkan


Kami muda, bodoh, dan miskin tapi kami yakin kami punya cinta. Aku berusia 20 tahun dan aku akan menikahi Devi yang berusaha 17 tahun. Pekerjaanku adalah petani sewaan. Aku tidak punya sawah, aku hanya mengerjakan sawah tetangga dengan upah 50 ribu seminggu. Memang tidak cukup, tapi kami punya cinta yang kami yakini bisa menopang hidup kami. Devi yatim piatu. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu, ayahnya dipenjara karena pernah memperkosa Devi. Hidup calon istriku itu sungguh tragis. Tapi tak masalah, karena sekali lagi kami punya cinta. Minggu depan pelaksanaan ijab kami. Yah, tidak besar-besaran, mana bisa aku menyelenggarakan pesta besar, aku juga yatim piatu sama sepertinya. Orangtuaku entah dimana, kata nenekku yang baru meninggal kemarin, yang mengasuhku sejak kecil, ibuku merantau ke negeri tetangga, ayahku kerja di kota. Tapi seumur hidup aku belum pernah dikunjungi mereka sekalipun, apalagi merasakan uang kiriman mereka  Sekali lagi tidak apa-apa, yang penting kami sah menikah dihadapan Allah Tuhanku dan juga Negara.
Pernikahanku sangat sederhana, hanya mengundang penghulu, maskawinnya saja cuma cincin 2 gram yang setelah acara selesai langsung dijual untuk beli beras.  Untung Devi tidak mengeluh. Devi wanita cantik yang baik hati, dia selalu mendukungku, tidak pernah protes akan kemiskinan kami, sangat menghormatiku, juga sangat menyayangiku. Ah aku beruntung mendapatkannya, meskipun tetangga-tetanggaku terkadang suka mencibirnya hanya karena dia pernah diperkosa bapak kandungnya. Itu bukan salah Devi. Aku tau itu. Aku tak peduli apa dan bagaimana Devi. Aku yakin kami akan punya keluarga yang bahagia, sakinah mawadah warohmah. Suatu hari yang cerah, Devi membisikkan sesuatu di telingaku. “Mas, badan Devi panas. Tolong mas nggak usah masak, beli saja di warung depan ya mas, tapi uang kita hanya lima ribu rupiah, beli seadanya aja ya mas, jangan ngutang tetangga lagi. Kita belum bisa bayar utang beli gula kemarin.”  Ya Allah, baru menikah seminggu saja, aku sudah berhutang untuk membeli keperluan sehari-hari. Upahku tidak cukup untuk biaya seminggu, apalagi sekarang Devi sakit. Ya Allah, aku tak mampu membawanya berobat. Aku hanya bisa tersenyum, menabahkan hati Devi sembari dalam hati menabahkan diriku sendiri. Lima ribu rupiah dapat apa? Ya Allah, tak sepantasnya aku mengeluh. Tak apalah hari ini biar Devi yang makan nasi dan sayur lodeh beserta tempe gorengnya. Aku bisa menahan lapar sampai esok hari aku punya gaji untuk membeli nasi.  
Sore yang cerah. Aku melepas penat di gubuk dipinggir sawah ketika aku mendengar kabar paling buruk dalam hidupku. Ya Allah, sawah tempatku bekerja akan digusur untuk pembangunan perumahan. Pak Sastro, pemilik sawah yang kugarap mengabarkan hal itu padaku. Aku lemas, bisa apa lagi aku? Mau kerja apa lagi? Aku tak pernah sekolah. Nenekku-lah yang menjadi guruku satu-satunya, yang mengajariku membaca dan menulis. Mana ada yang mau mepekerjakan aku. Paling hanya buruh serabutan yang bisa kulakukan, itu artinya pemasukanku akan jauh lebih sedikit daripada ini. Pak Sastro berbaik hati, memberikanku pesangon dua ratus ribu rupiah. Alhamdulillah. Tapi uang ini akan langsung habis membayar hutang Mbak Minah, toko kelontong satu-satunya didesaku untuk membayar beras, sabun, odol, shampo, gula, telur, obat nyamuk dan minyak goreng. Lalu sehabis itu bagaimana kami bisa hidup? Ya Allah tolonglah kami.
Tiga bulan terburuk dalam hidupku. Aku bekerja serabutan sebagai kuli panggul dengan upah seribu rupiah setiap membawakan belanjaan ibu-ibu  yang berkilo-kilo beratnya, nenek-nenek yang kesulitan membawa pisang, atau para wanita penjual daging di pasar. Sehari, aku hanya bisa membawa uang paling banyak delapan ribu rupiah. Tak jarang aku bahkan tidak mendapatkan sesen pun. Devi membantu tetangga mencuci baju, menyetrika, atau terkadang membersihkan rumah para tetangga. Itupun tidak setiap hari mereka  meminta Devi mengerjakannya. Ya Allah aku yakin Engkau punya rencana baik untuk kami. Hal itu terbukti, Devi kemudian hamil, Allah mempercayakan rejeki mulia itu pada kami. Aku tak berani menggugat Engkau, tapi kami mohon, berilah kami kemudahan dalam rejeki. Dengan apa nanti biaya melahirkan istriku dan bagaimana kami bisa mengasuh anak itu nanti. Bahkan aku tak kan sanggup memberikanmu makanan yang sehat untuk calon bayi itu. Aku hanya bisa menangis ditiap doa-doaku, namun aku tak lupa berterima kasih padaMu ya Allah, Kau berikan aku istri yang begitu tabah menjalani kemiskinan yang menghimpit hidup kami.
Suatu siang di pasar, aku melihat ada tulisan iklan yang menyebutkan adanya kesempatan untukku dan istriku untuk menjalani hidup yang lebih layak. Tulisan itu menyebutkan “DIBUTUHKAN RESELLER PETI MATI, TAK PERLU MODAL, CUKUP HANYA KEJUJURAN.” Aku tak mengerti arti apa itu reseller, aku tanyakan pada penjaga kios kelontong yang ditempeli iklan itu. Reseller artinya adalah penjual kembali. Artinya kau harus membeli sejumlah peti mati untuk kau jual kembali dan kau akan mendapatkan upah serta keuntungan dari situ. Begitulah dia menjelaskan arti reseller. Ah sepertinya ide yang bagus, dikampungku belum ada penjual peti mati, sehingga apabila ada yang meninggal, mereka harus kekota yang berkilo-kilo jauhnya hanya untuk membeli peti mati. Aku langsung mendatangi alamat yang ada di iklan tadi. Ternyata lumayan jauh juga dari pasar. Aku harus naik bis dua kali, dan akhirnya berjalan kaki cukup lama untuk menuju alamat itu. Hasil kerjaku hari ini habis untuk ongkos kesana. Tapi tak apa, demi memperbaiki hidup kami, apalagi Devi kan sedang hamil. Perbaikan hidup jelas harus segera dilakukan. Aku tak mau melihat Devi sengsara terus menerus.
Alamat yang aku tuju adalah sebuah rumah besar lengkap dengan para tukang kayu dan pengrajin lainnya yang sedang membuat peti mati. Ini rupanya tempat industri peti mati. Ya Allah aku merinding melihatnya, terbayang suatu saat nanti akulah yang terbaring dalam peti mati itu. Aku bergidik, kemudian memberikan salam pada seseorang yang sedang mengecat peti mati. “Walaikumsalam pak. Ada keperluan apa ya?” Tukang cat peti itu menjawab salamku, dan aku katakan bahwa aku melihat iklan dipasar dan ingin menjadi reseller peti mati yang mereka produksi. Tukang cat itu memperkenalkan diri sebagai Sarno, dan dia mengajakku kedalam rumah besar untuk bertemu juragan mereka yang bernama Pak Hasyim. Sarno mengatakan Pak Hasyim adalah lelaki yang baik. Dia menawarkan adanya reseller dengan tujuan untuk membantu orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Sarno juga menambahkan bahwa dirinya juga menjadi penjual peti mati yang diproduksi di sini. Tanpa modal, hanya berbekal kepercayaan Pak Hasyim saja. Dalam hati aku mengucap syukur pada Allah yang telah memberikanku jalan untuk bertemu dengan orang yang bisa membantu meringankan bebanku. Benar kata Sarno, pak Hasyim adalah pria yang sangat baik. Bahkan dia bersedia mengantarkanku pulang beserta membawa 10 buah peti makin berbagai ukuran. Jika sebuah peti terjual, aku mendapatkan keuntungan sekitar lima puluh ribu rupiah beserta upahku menjualkan peti matinya. Ah ini awal yang sangat baik, pikirku. Aku berjanji tak kan mengecewakan Pak Hasyim dan menjaga kepercayaannya.
Benar saja, peti mati itu lumayan laris dikampungku. Dalam seminggu bisa terjual sebuah peti mati. Bahkan dari kampung-kampung lainnya juga banyak yang memesan peti mati kepadaku. Hidup kami semakin membaik. Aku tak perlu lagi menjadi kuli panggul pasar, bahkan Devi juga tidak perlu lagi menjadi pembantu suruhan tetangga. Uang hasil penjualan peti mati bahkan bisa kugunakan untuk memasang listrik dan membeli televisi. Aku benar-benar bahagia bisa membahagiakan Devi. Meskipun itu masih sederhana. Ah tak terasa sebentar lagi Devi akan melahirkan, dan uang kami sepertinya masih belum cukup untuk biaya persalinan serta biaya keperluan bayi kami. Sekarang dalam doa-doaku aku selalu memintaNya untuk melancarkan penjualan peti matiku. Meskipun itu artinya secara tidak langsung memintaNya untuk banyak mencabut nyawa orang-orang disekitarku, Tapi aku hanya bisa bergantung pada penjualan peti mati ini. Aku yakin Dia mau mengerti. Bukan maksudku untuk meminta orang meninggal setiap hari hanya agar peti matiku laris.
-Tamat-

Kamis, 07 Oktober 2010

Everyday, im falling in love with you :)

MODE(is)

Aku harus membeli gaun Bvlgari itu. Sepatu manolo Christian Louboutin juga. Oh ya, jangan sampai kalah sama Inez yang baru aja beli tas Channel terbaru, sepertinya tas Hermes yang itu bisa membanting Inez. Tunggu dulu ATMku kosong gara-gara bayar sewa apartemen, tabunganku habis untuk swarovski Luis Vuitton kemarin, bisa malu aku di Gala Oscar de La Renta tanpa semua itu. Om Hendrik ngajak short time di Hilton, sebaiknya dia tidak lupa membawa buku ceknya.