Rabu, 20 Oktober 2010

HELENA


Dua tahun aku mengenal Helena. Gadis dengan mata abu-abu dan rambut hitam serupa malam. Sosok yang misterius, tidak mengijinkanku menceritakan sosoknya pada siapapun, tidak pada teman-temanku, terutama tidak pada keluargaku: ibuku. Aku tak tahu apa alasannya. Setiap kutanyakan, ia hanya tersenyum sendu. Kupikir itu karena masa lalunya yang suram. Ia takut tidak diterima semua orang. Dia pernah bercerita dia adalah anak yang terbuang, orang tuanya tidak pernah menginginkannya ada. Aku selalu iba jika memandang wajahnya yang sendu. Aku bisa merasakannya, sama seperti dia bisa merasakanku. Kami benar-benar seperti sekeping mata uang, berbeda, namun tak pernah bisa dipisahkan.
Dua tahun lalu, aku mengenalnya setahun tepat setelah kepergian Dean kekasihku. Dean yang sangat kukasihi, dinyatakan hilang, sama seperti smua penumpang pesawat yang entah dimana. Puing pesawatnya tak pernah ditemukan sampai sekarang. Aku bahkan sering berharap Dean akan membawakan seikat lili segar didepan rumahku seperti biasanya. Saat aku menarik diri dari segala hal menyakitkan mengenai kerinduanku akan Dean, dan memilih tidak mau berbicara dengan siapapun, Helena muncul sebagai sosok yang sangat memahamiku. Tidak ada yang dilakukannya saat itu. Dia hanya duduk disebelahku sementara aku menangis meraung-raung di sudut taman dibawah hujan. Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa iba setiap melihat raut wajahku. Tidak pula seperti ibuku yang selalu berkaca-kaca melihat kepedihan di mataku. Helena disampingku, tanpa ekspresi berarti di wajahnya, menungguiku berhenti menangis, lalu tersenyum, dan pada detik itu aku percaya padanya sepenuh hatiku.  
Hari ini aku kembali menekuri album fotoku bersama Dean dengan bersimbah air mata. Detik itu pula Helena muncul disampingku, diam seperti biasanya. Bukan hal yang aneh, dia memang suka muncul tiba-tiba saat aku merasa sedih dan kesepian. Awalnya aku bertanya bagaimana dia bisa masuk kamarku tanpa diketahui ibuku serta pembantuku. Dia selalu menjawab dengan senyuman. Senyuman yang selalu mengisyaratkan tak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai bagaimana caranya dia sampai. Helena memang tidak banyak bicara, dia hanya akan berbisik lirih apabila dia ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang kebanyakan adalah saran dan dukungan buatku. Entahlah, aku selalu merasakan kedamaian saat dia memelukku, aku selalu tertidur di bahunya, dan saat aku terbangun dia sudah tidak ada disampingku.
Aku memutuskan untuk keluar dari zona amanku. Aku ingin keluar ke dunia. Aku tak tahan lagi melihat kecemasan yang membayang di wajah ibuku. Kusadari, muncul beberapa keriput yang sebelumnya tak pernah kulihat di di wajah ibuku. Kucium pipinya serta memaksakan diri untuk tersenyum. Ibuku selalu memberikan tatapan itu, tatapan yang selalu diselimuti bayang airmata, aku sungguh tak tahan melihat kepedihannya. “Aku baik-baik saja ibu” kataku waktu itu. Sepertinya dia tak semudah itu untuk percaya, dan sebelum dia mengasihaniku dengan kata-katanya, aku memilih menyingkir. Kembali ke zona amanku, di dalam kamarku yang tak pernah terkunci, menunggu Helena. Benar saja, tak lama Helena muncul, duduk diam disampingku, namun dengan wajah yang lebih sendu daripada biasanya. “Kamu kenapa Helena?” tanyaku, cemas. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku yakin dia tak kan mau bercerita apa-apa. Tapi aku ingin memaksanya bercerita, aku ingin membantunya, sahabat harus saling berbagi bukan? “Aku akan pergi” jawabnya lirih, sambil menundukkan mukanya. Jawabannya sungguh membuatku terkejut. Aku panik, aku tak bisa kehilangan Helena, dia seperti seluruh duniaku saat ini. “Kemana? Kenapa kau ingin pergi? Kau tak ingin menemaniku lagi? Apa aku bertingkah menyebalkan? Kau tidak boleh pergi dariku, tidak boleh!!” aku menyemburkan berbagai pertanyaan itu sambil mondar-mandir di depan Helena. “Tenanglah” ujar Helena disaat aku mulai kehilangan kendali, histeris memohon-mohon padanya, mulai menangis tanpa henti, mencakari diriku sendiri, membenturkan kepalaku ke dinding dan ingin merenggut lepas semua rambut dikepalaku.
Saat aku terbangun, aku mendapati diriku di ruangan berbau cairan penggosok lantai pada sebuah ranjang berwarna putih, dengan selang menempel di tanganku, di hidungku serta menemukan ibuku di saampingku. Apa yang terjadi? Aku tak ingat banyak, aku hanya ingat saat aku panik, serta mencoba melukai diriku sendiri karena Helena akan pergi. Apakah Helena yang membawaku kesini? Tapi ada ibu disini, apakah ibu bertemu dengan Helena? Dalam hati aku lega, tampaknya Helena juga mulai membuka diri pada keluargaku, pada satu-satunya keluargaku, yaitu ibuku. “Ava, kamu sudah bangun?” Ibuku membelai lembut rambutku, lalu mengecup keningku. “Aku kenapa bu? Mana Helena?” jawabku seraya beringsut duduk di tempat tidur, kepalaku terasa berat. “Helena? Semalaman kau menyebut-nyebut namanya terus” Aku terkesiap, jadi ibu belum tau siapa Helena? Ah, aku membuka rahasia kepada ibuku bahwa aku mengenal Helena. Semoga Helena tidak marah, lantas meninggalkanku. Sisi hatiku kembali terkoyak, semalam Helena sudah berkata akan meninggalkanku bukan? Dia tidak disini, dan dia tidak bertemu ibuku, dia pasti sudah meninggalkanku, jauh sebelum ibuku membawaku kesini. Bulir-bulir air mata mulai membanjiri wajahku. Ibuku masih dengan ekspresi pilunya, mulai menghapus air mata dipipiku. “Sayang, kau jangan berpikir yang tidak-tidak. Ibu tidak tahu kau punya teman yang bernama Helena.” Aku merasa lelah dan marah pada Helena. Kenapa dia harus menyembunyikan dirinya? Mengapa dia harus meninggalkanku? Selama ini hanya dia yang bisa mengerti aku, hanya dia yang bisa memberikanku ketenangan setelah kehilanganku akan Dean.
“Ava, dengarkan ibu nak, kau tak pernah punya teman lagi, sejak kepergian Dean. Kau menarik diri dari kami semua, dari ibu, dan dari teman-temanmu. Kau tak pernah bisa ibu ajak bicara, tatapan matamu juga kosong. Kau memang selalu menyebut-nyebut nama Helena setelah kau menyebut nama Dean dalam tidurmu, bahkan semalam kau berteriak histeris seperti kesurupan meneriakkan nama Helena, kemudian kau kejang, lalu pingsan, ibu.. Ibu..” ibuku tak sanggup melanjutkan kata-katanya, air matanya meleleh, dan ia mulai sesenggukan. Kuputuskan aku akan memberitahunya siapa itu Helena. Aku tak tega melihat ibuku, ternyata selama ini aku telah menyusahkannya sedemikian dalam. “Ibu, kau memang tak pernah mengenal Helena. Dia sahabatku selama dua tahun ini, sejak kepergian Dean. Aku memang memilih menyendiri bu, aku tak sanggup melihat rasa kasihan dan iba semua orang terhadapku. Disaat itu, aku menemukan Helena, tidak, Helena yang menemukanku. Dia tidak pernah memberiku tatapan iba, dia tidak pernah mengasihaniku, bahkan dia cenderung tak pernah bicara. Tapi aku nyaman bersamanya bu, semalam dia dikamarku, dia mengatakan akan pergi, dan aku melihat raut kesedihan yang dalam di wajahnya. Aku tak sanggup kehilangan dia bu, ibu tidak melihatnya semalam? Dia ada dikamarku semalam bu!” aku mulai panik, dorongan menyakiti diriku sendiri untuk menghalau kesedihan pun meluap kembali. Aku mencoba menarik-narik rambutku lagi, ibuku menangis, memencet tombol di tempat tidurku, lalu orang-orang berseragam putih menyuntikkan cairan bening pada infus yang membelit pergelangan tanganku, dan aku mulai tenang, serta merasa sangat mengantuk.
Aku tak ingat berapa lama aku tertidur, saat terbangun aku mendapati Helena tersenyum disamping ibuku yang tengah memandangiku. Sontak aku merasa sangat berbahagia, Helena disamping ibuku! Mereka pasti sudah berkenalan kan? Ibuku tak perlu khawatir padaku lagi, aku akan meminta ibuku mengijinkan Helena tinggal dirumah kami. “Ada apa Ava? Kau merasa lebih baik?” ibuku bertanya dengan lembut. Aku mengangguk, mataku lekat menatap Helena. “Helena, kau sudah berkenalan dengan ibuku bukan?” kuulurkan tanganku menyambutnya, Helena tetap diam. Senyuman masih terpatri di wajahnya. “Helena, kenapa diam saja? Ayolah katakan kalian sudah berkenalan. Ibuku orang yang baik, dia takkan memperlakukanmu seperti orangtuamu..” “Sst..” Helena menempelkan telunjuk dibibirnya yang mungil. Aku menatap ibuku yang keheranan, ibuku menoleh kearah tatapan mataku. “Helena?” “Iya ibu, itu Helena, lihat, dia cantik kan? Matanya berwarna abu-abu, rambutnya hitam sekali. Ibu sudah berkenalan kan dengannya?” Ibuku melelehkan kembali air matanya dan aku merasa bingung. Kenapa ibu menangis? Ibu tidak menyukai Helena? Sementara itu kulihat Helena sudah tidak ada diruangan ini. “Istirahatlah lagi Ava” ibuku membetulkan letak selimutku, kugenggam tangan ibuku, “Kenapa ibu tidak mau menyapa Helena? Dia tersinggung bu, dia bahkan pergi tanpa berpamitan dengan kita!” emosi mulai menguasaiku lagi. “Tenanglah sayang, jangan terpancing emosimu lagi, atau para dokter itu akan..” “Akan apa? Mengikatku di kursi karena aku mengenal Helena? Karena aku tak mengerti kenapa ibu tidak menyukai Helena?” balasku. “Tenanglah, ibu tak suka melihatmu dijejali berbagai obat penenang. Tenanglah sayang ibu mohon” Ibuku terisak-isak. “Jelaskan bu. Jelaskan semuanya padaku. Kenapa ibu menangis seperti itu? Sebegitu buruknyakah Helena?”
Ibuku menegakkan kepalanya dan mulai memberondongku dengan kata-kata  “Berhentilah menyebut Helena! Kita semua tahu kan, tidak ada yang bernama Helena. Tidak ada siapapun diruangan ini. Hanya ibu dan kau! Berhentilah menipu dirimu, dengan menganggap kau punya teman bernama Helena! Tidak Ava, tidak pernah ada yang namanya Helena. Selama ini kau seperti mayat hidup, yang kosong tanpa jiwa. Tatapan matamu kosong, kau hanya menjawab bila ditanya, lalu masuk kekamarmu. Kau berterik-teriak dalam tidurmu, meneriakkan Dean, meneriakkan Helena. Berhentilah sebelum kau menjadi gila!” ibuku mengatur nafasnya yang memburu lalu melanjutkan kata-katanya “kau tahu kan, ibu hanya punya kau, dan kau hanya punya ibu. Ibu tahu kau sangat terpukul atas hilangnya Dean, kau pikir ibu tidak bersedih melihatmu hidup seperti itu? Kau mulai berhenti bicara pada ibu, kau tidak mau kuliah, dan kau menarik diri dari lingkunganmu. Sungguh ibu ingin merengkuhmu dalam pelukan ibu, ingin kau menumpahkan tangismu didada ibu, tapi kau menjauhi ibu, ibu tak kuasa memaksamu. Jika kau sedang merasa kalut, kau menyakiti dirimu, menampari wajahmu, bahkan mencoba menyayat tanganmu sendiri. Berhentilah sayang, berhentilah, ibu mohon.” Ibuku menghela napas panjang, lantas memotong ucapan yang sedianya akan keluar dari bibirku “Diamlah. Ibu belum selesai bicara. Dua tahun ini, memang kau banyak berubah, kau tak lagi sering histeris memanggil nama Dean, tak lagi menyakiti dirimu sendiri, namun kau jauh lebih misterius dari tahun pertama hilangnya Dean. Kau jauh lebih diam, sering keluar rumah tanpa berpamitan, berkeluyuran kejalan-jalan, dan kau sering mengurung dirimu. Kau tahu? Ibu dan pembantu kita sering mendapatimu bicara sendirian, memeluk gulingmu seolah kau memeluk seseorang dan sekali lagi, kau menyebut-nyebut Helena.”
Benarkah aku separah itu? Memang aku merasa aku menarik diri, tapi menyakiti diri? Histeris? Tatapan kosong? Aku tak ingat, hey bahkan ibuku mengatakan aku berbicara sendiri? Memeluk guling? Ibuku tidak melihat Helena dan bahkan dia menganggapku mulai gila! Apakah ibuku hanya berpura-pura tidak melihat Helena? Apakah ibuku membenci Helena? “Bu, kau tahu itu tak benar kan? Oke, mungkin memang aku menarik diri, tapi aku tidak gila bu. Apakah kau pikir aku hanya berkhayal berteman dengan Helena? Oh kumohon bu, jangan membuatku seolah-olah aku gila betulan.” Ibuku menggeleng “Sadarlah Ava! Behentilah membohongi dirimu dan menganggap Helena itu ada. Kau bilang dia disini? Tidak! Kau bisa bertanya pada perawat diluar pintu kita yang berjaga-jaga untuk menenangkanmu jika kau mengamuk. Apakah mereka melihat Helena? Tidak! Tidak ada yang melihat Helena! Berhentilah meracau tentang Helena! berhentilah membangun pertahanan dirimu melalui Helena, melalui khayalanmu. Kembalilah pada ibu nak, ibu mohon..” sekali lagi ibuku menangis. Aku merasakan hatiku sakit. Benarkah aku berkhayal? Tidak mungkin, sosok Helena begitu nyata. Apakah Helena hantu? Ah aku tak percaya ada hantu di jaman seperti ini. Tidak, ini pasti ada penjelasannya, kenapa ibuku bersikeras tidak melihat Helena? Sejuta pertanyaan berpusar dikepalaku, aku merasa akan muntah. Sekali lagi aku merasa sangat sedih, aku tak tahan pedihnya, aku mulai berteriak-teriak meminta ibuku diam, dan sekali lagi, perawat-perawat berbaju putih itu menyuntikkan sesuatu ke selang infusku.
Aku menolak dorongan kantuk dimataku untuk memaksa pikiranku mengingat masa-masa bersama Helena. Di kamarku, di taman di ujung jalan, serta berjalan-jalan di sore hari mengitari perumahan. Memang aku merasa beberapa mata memandangku dengan tatapan aneh saat aku keluar dan bercanda dengan bersama Helena. Awalnya kupikir mereka heran aku berteman dengan Helena yang tak jelas asal-usulnya. Namun kini aku khawatir, apakah mereka tidak melihatnya juga? Samar-samar kuingat perkataan ibuku mengenai pertahanan diri. Benarkah aku memunculkan sosok Helena dalam anganku, untuk menjadi sosok yang mengerti aku, sosok diam tanpa kata yang kudambakan menjadi sahabatku untuk memberikanku ketenangan akibat kesedihanku kehilangan Dean? Semua berpusar cepat dalam kepalaku. Aku tak mau menyerah, aku tak mau terlelap. Samar-samar kudengar ibuku berbicara dengan dokter di luar kamar, dokter itu mengatakan hal yang sama seperti pikiranku tadi. Bahwa sosok Helena hanyalah rekaan imajiku, untuk mepertahankan diri atas kesedihan yang kupikul. Dokter itu menyarankan ibuku untuk mengatur jadwal dengan psikiater, guna kesembuhan mental dan batinku. Aku masih tak percaya, Helena itu nyata! Aku yakin itu. Aku merasakan kehadiran seseorang secara tiba-tiba di samping ranjangku. Benar, itu Helena, masih dengan mata sendunya. Aku ingin mengadu semua padanya, saat akan kusentuh, dia menghilang. Sekali lagi aku merasa sangat sakit hati, namun aku tak mampu menangis.
Berhari-hari aku dirawat disini. Ibuku tak pernah meninggalkanku sendirian. Sesekali datang perawat membawakan obat dan makanan. Aku menolak melakukan apapun. Aku memilih diam. Aku tak mau lagi berpikir apapun. Aku masih sering melihat Helena berdiri dengan ekspresi khasnya, sendu, terkadang tersenyum menabahkan hatiku. Aku tak mau memberitahu ibuku, toh dia tak kan percaya. Aku berhenti memikirkan Dean, hatiku sakit sekali mengingatnya, dan aku takut, aku akan berhenti memikirkan Helena juga. Aku sungguh-sungguh melumpuhkan semua emosiku. Aku ingin menangis dan berteriak agar ibuku meninggalkanku saja, membiarkan seseorang disini menyuntikku mati. Aku sungguh tak ingin melakukan apa-apa lagi. Aku makan disuapi oleh ibuku, aku ke toilet dipapah oleh ibuku. Aku benar-benar tak ingin hidup. Ibuku semakin terlihat tua dengan keriput di wajahnya. Selang beberapa lama, aku dibawa pulang. Tak ada kemajuan apapun padaku. Aku tetap terbaring di ranjang, menolak melakukan apapun. Menolak memikirkan apapun, aku bahkan mengacuhkan Helena.. Aku tak pernah menemukan jawaban apapun mengenai apa dan siapa Helena. Pernah suatu waktu, perempuan cantik dengan mata lembut mendatangiku bersama ibuku, dialah psikiaterku. Suaranya renyah, pandangan matanya meneduhkan. Aku hampir mempercayainya seperti mempercayai Helena. Namun ketakutan akan kehilangan kembali menghantamku. Aku menolak bekerja sama. Aku memilih diam. Dia bahkan berusaha menghipnotisku, namun dari hasil pembicaraannya yang kudengar, hipnotis itu hanya membuahkan hasil aku berteriak-teriak memanggil Helena. Saat ibuku meninggal, itu tak berakibat apapun padaku. Emosiku benar-benar lumpuh. Sekarang, aku ditinggalkan dalam kamar berdinding busa, dengan Helena menemaniku setiap hari. Entahlah mungkin ini rumah sakit jiwa, entahlah aku tak ingat siapa yang membawaku kesini. Aku hanya ingin segera mati, tak ingin bagun lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar