Rabu, 03 November 2010

Ngopi2KueSerabi: Tanya?

Ngopi2KueSerabi: Tanya?

SIMFONI IRONI

Sepuluh tahun aku menikah dengan suamiku. Berbagai cara telah kami lakukan agar kami mendapatkan keturunan. Mulai dari suntik hormon, sampai kami bayi tabung yang biayanya ratusan juta, tak sekalipun kami berhasil mendapatkan keturunan. Menurut dokter, tak ada yang salah dengan kami. Tak ada masalah dengan rahimku, tak ada yang salah pula dengan sperma suamiku.
Suamiku tak pernah sekalipun menyalahkanku, atau menyalahkan dirinya sendiri. Dia selalu tenang, optimis dan penuh kasih sayang. Disaat keluarganya mulai mempertanyakan serta pesimis akan kondisi rahimku, dia memelukku dan dengan lembut berbisik ditelingaku “Allah belum kasih kepercayaan pada kita untuk menitipkan malaikatnya..” hanya dengan pelukannya aku merasa sedikt tenang. Meskipun jauh di dalam hatiku, kerinduanku membuncah ingin segera mempunyai sesosok mungil yang akan ku panggil sebagai “anakku”.
Pagi itu berkabut, saat suamiku menyampaikan kabar paling buruk dalam hidupku. Ibu mertuaku sedang sekarat. Beliau di vonis kanker leher rahim stadium 4. Kami bergegas menuju rumah sakit tempat beliau dirawat. Beliau menyampaikan permintaan terakhirnya, yaitu menginginkan cucu, benih dari suamiku. “Ibu, kumohon bersabarlah, kami sudah berusaha semampu kami..” kata suamiku saat mendengar permintaan sang ibu. “Menikahlah dengan Sani. Segeralah berikan ibu seorang cucu, sebelum ajal menjemput ibu.” Ibu mertuaku menyahuti perkataan suamiku dengan tegas, aku hanya bisa menangis.
Sani adalah teman kuliah kami. Ibu mertuaku memang menyukainya. Sani adalah golongan ningrat, sama seperti suamiku. Berbeda denganku yang terlahir dari keluarga petani desa. Awal pernikahan kami juga ditentang oleh keluarga besar suamiku, terutama ibunya. Namun takdir berkata lain, kami akhirnya benar-benar menikah. Sekarang, setelah 10 tahun pernikahan dan aku tak kunjung mempunyai keturunan, keluarganya kembali membenciku.
aku benar-benar merasa hancur mendengar permintaan mertuaku. Aku tahu suamiku ingin berbakti pada ibunya serta membahagiakan ibunya, namun aku tak kunjung bisa berputera. Aku ingin membalas kebaikan serta kesabaran suamiku selama ini, dan yang bisa kulakukan hanyalah menuruti permintaan ibunya. Suamiku meneteskan air mata seraya memelukku saat aku mengatakan aku mengijinkannya dengan ikhlas untuk menikahi Sani.
Wajah bahagia mertuaku seakan bisa menghalau penyakit yang sedang dideritanya. Untuk pertama kalinya dia memelukku seraya berucap terimakasih karena mengijinkan puteranya untuk menikah lagi. Dalam hati aku menangis, aku tak pernah rela berbagi suami dengan siapapun.
Tiga bulan setelah pernikahan, Sani hamil. Betapa girang mertuaku mendengar kabar itu. Dia terus menerus memuji Sani seraya membandingkannya denganku. Beruntung, suamiku tak pernah mencintai wanita itu sebesar cintanya padaku. Suamiku lebih banyak menghabiskan waktu dikamarku, memelukku, sampai tertidur di sampingku. Aku tahu, dia tak ingin membuatku tersakiti. Betapa aku sangat ingin menjadi Sani, yang akan segera mempunyai putera, benih dari suamiku.
Alangkah sedihnya suamiku saat ibunya meninggal, tepat dikala Sani melahirkan. Beliau tak pernah menimang cucu yang sangat beliau dambakan, bahkan setelah memaksa suamiku menikahi wanita lain. Saat itulah aku sadar, betapa cinta adalah simfoni ironi yang mengalun tak putus-putus akan pengorbanan dan air mata demi sesuatu yang bermakna “bahagia”.