Rabu, 20 Oktober 2010

OMPONG

Hera menunduk di ruangan dokter gigi yang berbau seperti cairan pembersih lantai. Di meja dokter itu terlihat ada dua gigi depannya yang baru saja di cabut. Dokter muda cantik itu mengatakan bahwa kedua gigi depannya sudah membusuk dan mulai menghiam, jadi sebaiknya dicabut sebelum membuat sakit giginya semakin parah. Dengan pasrah Hera mengangguk mengiyakan. Memang tidak sakit rasanya. Tapi satu yang Hera khawatirkan, bagaimana rupanya kelak tanpa gigi depannya? Ompong jelas seperti nenek-nenek. Memang ada alternatif gigi palsu, tapi menurutnya gigi palsu tidak akan seperti gigi asli, lagipula Hera kenal seorang bibi diseberang rumahnya yang memakai gigi palsu dan bau mulutnya luar biasa busuk. Hera tidak mau bernapas bau. Apa kata teman kuliahnya nanti? Cantik-cantik ompong? Atau cantik-cantik bau mulut?
Perlahan dia mulai berlinangan air mata. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia beranjak meninggalkan ruangan dokter itu. Dia berjalan tanpa arah memikirkan kenapa sampai giginya ompong. Yah, Hera adalah seorang cewek super modis yang sangat memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi sepertinya hal itu tidak benar, buktinya gigi depannya malah bolong. ’Ini pasti gara-gara gulali’ pikirnya. Hera memang sangat menyukai gulali, hampir setiap saat dia selalu makan gulali, berkali-kali diperingatkan mamanya untuk mengurangi mengkonsumsi yang manis-manis karena dia cenderung mewarisi diabetes dari ayahnya, tapi tidak pernah Hera hiraukan. Kini saat kedua giginya sudah menjadi korban, baru Hera sesali semua kebiasaannya itu. Diapun menyeka air matanya, kembali ke tempat dokter gigi, meminta dipasangi gigi palsu yang paling bagus.
Sejak saat itu Hera membenci gulali, tidak hanya gulali, dia membenci semua makanan manis. Dia hanya minum air putih, tidak mau menyentuh buah-buahan yang manis. Satu hal yang nampaknya Hera tidak sadari, bukan gulali yang menyebabkan kedua giginya ompong, tapi malah dirinya sendiri yang makan gulali tanpa henti. Dia tidak menyadari sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik. Dan bukannya berkaca akan kesalahnnya sendiri, Hera menumpahkan kebenciannya pada gulali.

HELENA


Dua tahun aku mengenal Helena. Gadis dengan mata abu-abu dan rambut hitam serupa malam. Sosok yang misterius, tidak mengijinkanku menceritakan sosoknya pada siapapun, tidak pada teman-temanku, terutama tidak pada keluargaku: ibuku. Aku tak tahu apa alasannya. Setiap kutanyakan, ia hanya tersenyum sendu. Kupikir itu karena masa lalunya yang suram. Ia takut tidak diterima semua orang. Dia pernah bercerita dia adalah anak yang terbuang, orang tuanya tidak pernah menginginkannya ada. Aku selalu iba jika memandang wajahnya yang sendu. Aku bisa merasakannya, sama seperti dia bisa merasakanku. Kami benar-benar seperti sekeping mata uang, berbeda, namun tak pernah bisa dipisahkan.
Dua tahun lalu, aku mengenalnya setahun tepat setelah kepergian Dean kekasihku. Dean yang sangat kukasihi, dinyatakan hilang, sama seperti smua penumpang pesawat yang entah dimana. Puing pesawatnya tak pernah ditemukan sampai sekarang. Aku bahkan sering berharap Dean akan membawakan seikat lili segar didepan rumahku seperti biasanya. Saat aku menarik diri dari segala hal menyakitkan mengenai kerinduanku akan Dean, dan memilih tidak mau berbicara dengan siapapun, Helena muncul sebagai sosok yang sangat memahamiku. Tidak ada yang dilakukannya saat itu. Dia hanya duduk disebelahku sementara aku menangis meraung-raung di sudut taman dibawah hujan. Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa iba setiap melihat raut wajahku. Tidak pula seperti ibuku yang selalu berkaca-kaca melihat kepedihan di mataku. Helena disampingku, tanpa ekspresi berarti di wajahnya, menungguiku berhenti menangis, lalu tersenyum, dan pada detik itu aku percaya padanya sepenuh hatiku.  
Hari ini aku kembali menekuri album fotoku bersama Dean dengan bersimbah air mata. Detik itu pula Helena muncul disampingku, diam seperti biasanya. Bukan hal yang aneh, dia memang suka muncul tiba-tiba saat aku merasa sedih dan kesepian. Awalnya aku bertanya bagaimana dia bisa masuk kamarku tanpa diketahui ibuku serta pembantuku. Dia selalu menjawab dengan senyuman. Senyuman yang selalu mengisyaratkan tak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai bagaimana caranya dia sampai. Helena memang tidak banyak bicara, dia hanya akan berbisik lirih apabila dia ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang kebanyakan adalah saran dan dukungan buatku. Entahlah, aku selalu merasakan kedamaian saat dia memelukku, aku selalu tertidur di bahunya, dan saat aku terbangun dia sudah tidak ada disampingku.
Aku memutuskan untuk keluar dari zona amanku. Aku ingin keluar ke dunia. Aku tak tahan lagi melihat kecemasan yang membayang di wajah ibuku. Kusadari, muncul beberapa keriput yang sebelumnya tak pernah kulihat di di wajah ibuku. Kucium pipinya serta memaksakan diri untuk tersenyum. Ibuku selalu memberikan tatapan itu, tatapan yang selalu diselimuti bayang airmata, aku sungguh tak tahan melihat kepedihannya. “Aku baik-baik saja ibu” kataku waktu itu. Sepertinya dia tak semudah itu untuk percaya, dan sebelum dia mengasihaniku dengan kata-katanya, aku memilih menyingkir. Kembali ke zona amanku, di dalam kamarku yang tak pernah terkunci, menunggu Helena. Benar saja, tak lama Helena muncul, duduk diam disampingku, namun dengan wajah yang lebih sendu daripada biasanya. “Kamu kenapa Helena?” tanyaku, cemas. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku yakin dia tak kan mau bercerita apa-apa. Tapi aku ingin memaksanya bercerita, aku ingin membantunya, sahabat harus saling berbagi bukan? “Aku akan pergi” jawabnya lirih, sambil menundukkan mukanya. Jawabannya sungguh membuatku terkejut. Aku panik, aku tak bisa kehilangan Helena, dia seperti seluruh duniaku saat ini. “Kemana? Kenapa kau ingin pergi? Kau tak ingin menemaniku lagi? Apa aku bertingkah menyebalkan? Kau tidak boleh pergi dariku, tidak boleh!!” aku menyemburkan berbagai pertanyaan itu sambil mondar-mandir di depan Helena. “Tenanglah” ujar Helena disaat aku mulai kehilangan kendali, histeris memohon-mohon padanya, mulai menangis tanpa henti, mencakari diriku sendiri, membenturkan kepalaku ke dinding dan ingin merenggut lepas semua rambut dikepalaku.
Saat aku terbangun, aku mendapati diriku di ruangan berbau cairan penggosok lantai pada sebuah ranjang berwarna putih, dengan selang menempel di tanganku, di hidungku serta menemukan ibuku di saampingku. Apa yang terjadi? Aku tak ingat banyak, aku hanya ingat saat aku panik, serta mencoba melukai diriku sendiri karena Helena akan pergi. Apakah Helena yang membawaku kesini? Tapi ada ibu disini, apakah ibu bertemu dengan Helena? Dalam hati aku lega, tampaknya Helena juga mulai membuka diri pada keluargaku, pada satu-satunya keluargaku, yaitu ibuku. “Ava, kamu sudah bangun?” Ibuku membelai lembut rambutku, lalu mengecup keningku. “Aku kenapa bu? Mana Helena?” jawabku seraya beringsut duduk di tempat tidur, kepalaku terasa berat. “Helena? Semalaman kau menyebut-nyebut namanya terus” Aku terkesiap, jadi ibu belum tau siapa Helena? Ah, aku membuka rahasia kepada ibuku bahwa aku mengenal Helena. Semoga Helena tidak marah, lantas meninggalkanku. Sisi hatiku kembali terkoyak, semalam Helena sudah berkata akan meninggalkanku bukan? Dia tidak disini, dan dia tidak bertemu ibuku, dia pasti sudah meninggalkanku, jauh sebelum ibuku membawaku kesini. Bulir-bulir air mata mulai membanjiri wajahku. Ibuku masih dengan ekspresi pilunya, mulai menghapus air mata dipipiku. “Sayang, kau jangan berpikir yang tidak-tidak. Ibu tidak tahu kau punya teman yang bernama Helena.” Aku merasa lelah dan marah pada Helena. Kenapa dia harus menyembunyikan dirinya? Mengapa dia harus meninggalkanku? Selama ini hanya dia yang bisa mengerti aku, hanya dia yang bisa memberikanku ketenangan setelah kehilanganku akan Dean.
“Ava, dengarkan ibu nak, kau tak pernah punya teman lagi, sejak kepergian Dean. Kau menarik diri dari kami semua, dari ibu, dan dari teman-temanmu. Kau tak pernah bisa ibu ajak bicara, tatapan matamu juga kosong. Kau memang selalu menyebut-nyebut nama Helena setelah kau menyebut nama Dean dalam tidurmu, bahkan semalam kau berteriak histeris seperti kesurupan meneriakkan nama Helena, kemudian kau kejang, lalu pingsan, ibu.. Ibu..” ibuku tak sanggup melanjutkan kata-katanya, air matanya meleleh, dan ia mulai sesenggukan. Kuputuskan aku akan memberitahunya siapa itu Helena. Aku tak tega melihat ibuku, ternyata selama ini aku telah menyusahkannya sedemikian dalam. “Ibu, kau memang tak pernah mengenal Helena. Dia sahabatku selama dua tahun ini, sejak kepergian Dean. Aku memang memilih menyendiri bu, aku tak sanggup melihat rasa kasihan dan iba semua orang terhadapku. Disaat itu, aku menemukan Helena, tidak, Helena yang menemukanku. Dia tidak pernah memberiku tatapan iba, dia tidak pernah mengasihaniku, bahkan dia cenderung tak pernah bicara. Tapi aku nyaman bersamanya bu, semalam dia dikamarku, dia mengatakan akan pergi, dan aku melihat raut kesedihan yang dalam di wajahnya. Aku tak sanggup kehilangan dia bu, ibu tidak melihatnya semalam? Dia ada dikamarku semalam bu!” aku mulai panik, dorongan menyakiti diriku sendiri untuk menghalau kesedihan pun meluap kembali. Aku mencoba menarik-narik rambutku lagi, ibuku menangis, memencet tombol di tempat tidurku, lalu orang-orang berseragam putih menyuntikkan cairan bening pada infus yang membelit pergelangan tanganku, dan aku mulai tenang, serta merasa sangat mengantuk.
Aku tak ingat berapa lama aku tertidur, saat terbangun aku mendapati Helena tersenyum disamping ibuku yang tengah memandangiku. Sontak aku merasa sangat berbahagia, Helena disamping ibuku! Mereka pasti sudah berkenalan kan? Ibuku tak perlu khawatir padaku lagi, aku akan meminta ibuku mengijinkan Helena tinggal dirumah kami. “Ada apa Ava? Kau merasa lebih baik?” ibuku bertanya dengan lembut. Aku mengangguk, mataku lekat menatap Helena. “Helena, kau sudah berkenalan dengan ibuku bukan?” kuulurkan tanganku menyambutnya, Helena tetap diam. Senyuman masih terpatri di wajahnya. “Helena, kenapa diam saja? Ayolah katakan kalian sudah berkenalan. Ibuku orang yang baik, dia takkan memperlakukanmu seperti orangtuamu..” “Sst..” Helena menempelkan telunjuk dibibirnya yang mungil. Aku menatap ibuku yang keheranan, ibuku menoleh kearah tatapan mataku. “Helena?” “Iya ibu, itu Helena, lihat, dia cantik kan? Matanya berwarna abu-abu, rambutnya hitam sekali. Ibu sudah berkenalan kan dengannya?” Ibuku melelehkan kembali air matanya dan aku merasa bingung. Kenapa ibu menangis? Ibu tidak menyukai Helena? Sementara itu kulihat Helena sudah tidak ada diruangan ini. “Istirahatlah lagi Ava” ibuku membetulkan letak selimutku, kugenggam tangan ibuku, “Kenapa ibu tidak mau menyapa Helena? Dia tersinggung bu, dia bahkan pergi tanpa berpamitan dengan kita!” emosi mulai menguasaiku lagi. “Tenanglah sayang, jangan terpancing emosimu lagi, atau para dokter itu akan..” “Akan apa? Mengikatku di kursi karena aku mengenal Helena? Karena aku tak mengerti kenapa ibu tidak menyukai Helena?” balasku. “Tenanglah, ibu tak suka melihatmu dijejali berbagai obat penenang. Tenanglah sayang ibu mohon” Ibuku terisak-isak. “Jelaskan bu. Jelaskan semuanya padaku. Kenapa ibu menangis seperti itu? Sebegitu buruknyakah Helena?”
Ibuku menegakkan kepalanya dan mulai memberondongku dengan kata-kata  “Berhentilah menyebut Helena! Kita semua tahu kan, tidak ada yang bernama Helena. Tidak ada siapapun diruangan ini. Hanya ibu dan kau! Berhentilah menipu dirimu, dengan menganggap kau punya teman bernama Helena! Tidak Ava, tidak pernah ada yang namanya Helena. Selama ini kau seperti mayat hidup, yang kosong tanpa jiwa. Tatapan matamu kosong, kau hanya menjawab bila ditanya, lalu masuk kekamarmu. Kau berterik-teriak dalam tidurmu, meneriakkan Dean, meneriakkan Helena. Berhentilah sebelum kau menjadi gila!” ibuku mengatur nafasnya yang memburu lalu melanjutkan kata-katanya “kau tahu kan, ibu hanya punya kau, dan kau hanya punya ibu. Ibu tahu kau sangat terpukul atas hilangnya Dean, kau pikir ibu tidak bersedih melihatmu hidup seperti itu? Kau mulai berhenti bicara pada ibu, kau tidak mau kuliah, dan kau menarik diri dari lingkunganmu. Sungguh ibu ingin merengkuhmu dalam pelukan ibu, ingin kau menumpahkan tangismu didada ibu, tapi kau menjauhi ibu, ibu tak kuasa memaksamu. Jika kau sedang merasa kalut, kau menyakiti dirimu, menampari wajahmu, bahkan mencoba menyayat tanganmu sendiri. Berhentilah sayang, berhentilah, ibu mohon.” Ibuku menghela napas panjang, lantas memotong ucapan yang sedianya akan keluar dari bibirku “Diamlah. Ibu belum selesai bicara. Dua tahun ini, memang kau banyak berubah, kau tak lagi sering histeris memanggil nama Dean, tak lagi menyakiti dirimu sendiri, namun kau jauh lebih misterius dari tahun pertama hilangnya Dean. Kau jauh lebih diam, sering keluar rumah tanpa berpamitan, berkeluyuran kejalan-jalan, dan kau sering mengurung dirimu. Kau tahu? Ibu dan pembantu kita sering mendapatimu bicara sendirian, memeluk gulingmu seolah kau memeluk seseorang dan sekali lagi, kau menyebut-nyebut Helena.”
Benarkah aku separah itu? Memang aku merasa aku menarik diri, tapi menyakiti diri? Histeris? Tatapan kosong? Aku tak ingat, hey bahkan ibuku mengatakan aku berbicara sendiri? Memeluk guling? Ibuku tidak melihat Helena dan bahkan dia menganggapku mulai gila! Apakah ibuku hanya berpura-pura tidak melihat Helena? Apakah ibuku membenci Helena? “Bu, kau tahu itu tak benar kan? Oke, mungkin memang aku menarik diri, tapi aku tidak gila bu. Apakah kau pikir aku hanya berkhayal berteman dengan Helena? Oh kumohon bu, jangan membuatku seolah-olah aku gila betulan.” Ibuku menggeleng “Sadarlah Ava! Behentilah membohongi dirimu dan menganggap Helena itu ada. Kau bilang dia disini? Tidak! Kau bisa bertanya pada perawat diluar pintu kita yang berjaga-jaga untuk menenangkanmu jika kau mengamuk. Apakah mereka melihat Helena? Tidak! Tidak ada yang melihat Helena! Berhentilah meracau tentang Helena! berhentilah membangun pertahanan dirimu melalui Helena, melalui khayalanmu. Kembalilah pada ibu nak, ibu mohon..” sekali lagi ibuku menangis. Aku merasakan hatiku sakit. Benarkah aku berkhayal? Tidak mungkin, sosok Helena begitu nyata. Apakah Helena hantu? Ah aku tak percaya ada hantu di jaman seperti ini. Tidak, ini pasti ada penjelasannya, kenapa ibuku bersikeras tidak melihat Helena? Sejuta pertanyaan berpusar dikepalaku, aku merasa akan muntah. Sekali lagi aku merasa sangat sedih, aku tak tahan pedihnya, aku mulai berteriak-teriak meminta ibuku diam, dan sekali lagi, perawat-perawat berbaju putih itu menyuntikkan sesuatu ke selang infusku.
Aku menolak dorongan kantuk dimataku untuk memaksa pikiranku mengingat masa-masa bersama Helena. Di kamarku, di taman di ujung jalan, serta berjalan-jalan di sore hari mengitari perumahan. Memang aku merasa beberapa mata memandangku dengan tatapan aneh saat aku keluar dan bercanda dengan bersama Helena. Awalnya kupikir mereka heran aku berteman dengan Helena yang tak jelas asal-usulnya. Namun kini aku khawatir, apakah mereka tidak melihatnya juga? Samar-samar kuingat perkataan ibuku mengenai pertahanan diri. Benarkah aku memunculkan sosok Helena dalam anganku, untuk menjadi sosok yang mengerti aku, sosok diam tanpa kata yang kudambakan menjadi sahabatku untuk memberikanku ketenangan akibat kesedihanku kehilangan Dean? Semua berpusar cepat dalam kepalaku. Aku tak mau menyerah, aku tak mau terlelap. Samar-samar kudengar ibuku berbicara dengan dokter di luar kamar, dokter itu mengatakan hal yang sama seperti pikiranku tadi. Bahwa sosok Helena hanyalah rekaan imajiku, untuk mepertahankan diri atas kesedihan yang kupikul. Dokter itu menyarankan ibuku untuk mengatur jadwal dengan psikiater, guna kesembuhan mental dan batinku. Aku masih tak percaya, Helena itu nyata! Aku yakin itu. Aku merasakan kehadiran seseorang secara tiba-tiba di samping ranjangku. Benar, itu Helena, masih dengan mata sendunya. Aku ingin mengadu semua padanya, saat akan kusentuh, dia menghilang. Sekali lagi aku merasa sangat sakit hati, namun aku tak mampu menangis.
Berhari-hari aku dirawat disini. Ibuku tak pernah meninggalkanku sendirian. Sesekali datang perawat membawakan obat dan makanan. Aku menolak melakukan apapun. Aku memilih diam. Aku tak mau lagi berpikir apapun. Aku masih sering melihat Helena berdiri dengan ekspresi khasnya, sendu, terkadang tersenyum menabahkan hatiku. Aku tak mau memberitahu ibuku, toh dia tak kan percaya. Aku berhenti memikirkan Dean, hatiku sakit sekali mengingatnya, dan aku takut, aku akan berhenti memikirkan Helena juga. Aku sungguh-sungguh melumpuhkan semua emosiku. Aku ingin menangis dan berteriak agar ibuku meninggalkanku saja, membiarkan seseorang disini menyuntikku mati. Aku sungguh tak ingin melakukan apa-apa lagi. Aku makan disuapi oleh ibuku, aku ke toilet dipapah oleh ibuku. Aku benar-benar tak ingin hidup. Ibuku semakin terlihat tua dengan keriput di wajahnya. Selang beberapa lama, aku dibawa pulang. Tak ada kemajuan apapun padaku. Aku tetap terbaring di ranjang, menolak melakukan apapun. Menolak memikirkan apapun, aku bahkan mengacuhkan Helena.. Aku tak pernah menemukan jawaban apapun mengenai apa dan siapa Helena. Pernah suatu waktu, perempuan cantik dengan mata lembut mendatangiku bersama ibuku, dialah psikiaterku. Suaranya renyah, pandangan matanya meneduhkan. Aku hampir mempercayainya seperti mempercayai Helena. Namun ketakutan akan kehilangan kembali menghantamku. Aku menolak bekerja sama. Aku memilih diam. Dia bahkan berusaha menghipnotisku, namun dari hasil pembicaraannya yang kudengar, hipnotis itu hanya membuahkan hasil aku berteriak-teriak memanggil Helena. Saat ibuku meninggal, itu tak berakibat apapun padaku. Emosiku benar-benar lumpuh. Sekarang, aku ditinggalkan dalam kamar berdinding busa, dengan Helena menemaniku setiap hari. Entahlah mungkin ini rumah sakit jiwa, entahlah aku tak ingat siapa yang membawaku kesini. Aku hanya ingin segera mati, tak ingin bagun lagi.

Senin, 11 Oktober 2010

Penjual peti mati berdoa setiap malam agar banyak yang mati buat biaya istrinya melahirkan


Kami muda, bodoh, dan miskin tapi kami yakin kami punya cinta. Aku berusia 20 tahun dan aku akan menikahi Devi yang berusaha 17 tahun. Pekerjaanku adalah petani sewaan. Aku tidak punya sawah, aku hanya mengerjakan sawah tetangga dengan upah 50 ribu seminggu. Memang tidak cukup, tapi kami punya cinta yang kami yakini bisa menopang hidup kami. Devi yatim piatu. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu, ayahnya dipenjara karena pernah memperkosa Devi. Hidup calon istriku itu sungguh tragis. Tapi tak masalah, karena sekali lagi kami punya cinta. Minggu depan pelaksanaan ijab kami. Yah, tidak besar-besaran, mana bisa aku menyelenggarakan pesta besar, aku juga yatim piatu sama sepertinya. Orangtuaku entah dimana, kata nenekku yang baru meninggal kemarin, yang mengasuhku sejak kecil, ibuku merantau ke negeri tetangga, ayahku kerja di kota. Tapi seumur hidup aku belum pernah dikunjungi mereka sekalipun, apalagi merasakan uang kiriman mereka  Sekali lagi tidak apa-apa, yang penting kami sah menikah dihadapan Allah Tuhanku dan juga Negara.
Pernikahanku sangat sederhana, hanya mengundang penghulu, maskawinnya saja cuma cincin 2 gram yang setelah acara selesai langsung dijual untuk beli beras.  Untung Devi tidak mengeluh. Devi wanita cantik yang baik hati, dia selalu mendukungku, tidak pernah protes akan kemiskinan kami, sangat menghormatiku, juga sangat menyayangiku. Ah aku beruntung mendapatkannya, meskipun tetangga-tetanggaku terkadang suka mencibirnya hanya karena dia pernah diperkosa bapak kandungnya. Itu bukan salah Devi. Aku tau itu. Aku tak peduli apa dan bagaimana Devi. Aku yakin kami akan punya keluarga yang bahagia, sakinah mawadah warohmah. Suatu hari yang cerah, Devi membisikkan sesuatu di telingaku. “Mas, badan Devi panas. Tolong mas nggak usah masak, beli saja di warung depan ya mas, tapi uang kita hanya lima ribu rupiah, beli seadanya aja ya mas, jangan ngutang tetangga lagi. Kita belum bisa bayar utang beli gula kemarin.”  Ya Allah, baru menikah seminggu saja, aku sudah berhutang untuk membeli keperluan sehari-hari. Upahku tidak cukup untuk biaya seminggu, apalagi sekarang Devi sakit. Ya Allah, aku tak mampu membawanya berobat. Aku hanya bisa tersenyum, menabahkan hati Devi sembari dalam hati menabahkan diriku sendiri. Lima ribu rupiah dapat apa? Ya Allah, tak sepantasnya aku mengeluh. Tak apalah hari ini biar Devi yang makan nasi dan sayur lodeh beserta tempe gorengnya. Aku bisa menahan lapar sampai esok hari aku punya gaji untuk membeli nasi.  
Sore yang cerah. Aku melepas penat di gubuk dipinggir sawah ketika aku mendengar kabar paling buruk dalam hidupku. Ya Allah, sawah tempatku bekerja akan digusur untuk pembangunan perumahan. Pak Sastro, pemilik sawah yang kugarap mengabarkan hal itu padaku. Aku lemas, bisa apa lagi aku? Mau kerja apa lagi? Aku tak pernah sekolah. Nenekku-lah yang menjadi guruku satu-satunya, yang mengajariku membaca dan menulis. Mana ada yang mau mepekerjakan aku. Paling hanya buruh serabutan yang bisa kulakukan, itu artinya pemasukanku akan jauh lebih sedikit daripada ini. Pak Sastro berbaik hati, memberikanku pesangon dua ratus ribu rupiah. Alhamdulillah. Tapi uang ini akan langsung habis membayar hutang Mbak Minah, toko kelontong satu-satunya didesaku untuk membayar beras, sabun, odol, shampo, gula, telur, obat nyamuk dan minyak goreng. Lalu sehabis itu bagaimana kami bisa hidup? Ya Allah tolonglah kami.
Tiga bulan terburuk dalam hidupku. Aku bekerja serabutan sebagai kuli panggul dengan upah seribu rupiah setiap membawakan belanjaan ibu-ibu  yang berkilo-kilo beratnya, nenek-nenek yang kesulitan membawa pisang, atau para wanita penjual daging di pasar. Sehari, aku hanya bisa membawa uang paling banyak delapan ribu rupiah. Tak jarang aku bahkan tidak mendapatkan sesen pun. Devi membantu tetangga mencuci baju, menyetrika, atau terkadang membersihkan rumah para tetangga. Itupun tidak setiap hari mereka  meminta Devi mengerjakannya. Ya Allah aku yakin Engkau punya rencana baik untuk kami. Hal itu terbukti, Devi kemudian hamil, Allah mempercayakan rejeki mulia itu pada kami. Aku tak berani menggugat Engkau, tapi kami mohon, berilah kami kemudahan dalam rejeki. Dengan apa nanti biaya melahirkan istriku dan bagaimana kami bisa mengasuh anak itu nanti. Bahkan aku tak kan sanggup memberikanmu makanan yang sehat untuk calon bayi itu. Aku hanya bisa menangis ditiap doa-doaku, namun aku tak lupa berterima kasih padaMu ya Allah, Kau berikan aku istri yang begitu tabah menjalani kemiskinan yang menghimpit hidup kami.
Suatu siang di pasar, aku melihat ada tulisan iklan yang menyebutkan adanya kesempatan untukku dan istriku untuk menjalani hidup yang lebih layak. Tulisan itu menyebutkan “DIBUTUHKAN RESELLER PETI MATI, TAK PERLU MODAL, CUKUP HANYA KEJUJURAN.” Aku tak mengerti arti apa itu reseller, aku tanyakan pada penjaga kios kelontong yang ditempeli iklan itu. Reseller artinya adalah penjual kembali. Artinya kau harus membeli sejumlah peti mati untuk kau jual kembali dan kau akan mendapatkan upah serta keuntungan dari situ. Begitulah dia menjelaskan arti reseller. Ah sepertinya ide yang bagus, dikampungku belum ada penjual peti mati, sehingga apabila ada yang meninggal, mereka harus kekota yang berkilo-kilo jauhnya hanya untuk membeli peti mati. Aku langsung mendatangi alamat yang ada di iklan tadi. Ternyata lumayan jauh juga dari pasar. Aku harus naik bis dua kali, dan akhirnya berjalan kaki cukup lama untuk menuju alamat itu. Hasil kerjaku hari ini habis untuk ongkos kesana. Tapi tak apa, demi memperbaiki hidup kami, apalagi Devi kan sedang hamil. Perbaikan hidup jelas harus segera dilakukan. Aku tak mau melihat Devi sengsara terus menerus.
Alamat yang aku tuju adalah sebuah rumah besar lengkap dengan para tukang kayu dan pengrajin lainnya yang sedang membuat peti mati. Ini rupanya tempat industri peti mati. Ya Allah aku merinding melihatnya, terbayang suatu saat nanti akulah yang terbaring dalam peti mati itu. Aku bergidik, kemudian memberikan salam pada seseorang yang sedang mengecat peti mati. “Walaikumsalam pak. Ada keperluan apa ya?” Tukang cat peti itu menjawab salamku, dan aku katakan bahwa aku melihat iklan dipasar dan ingin menjadi reseller peti mati yang mereka produksi. Tukang cat itu memperkenalkan diri sebagai Sarno, dan dia mengajakku kedalam rumah besar untuk bertemu juragan mereka yang bernama Pak Hasyim. Sarno mengatakan Pak Hasyim adalah lelaki yang baik. Dia menawarkan adanya reseller dengan tujuan untuk membantu orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Sarno juga menambahkan bahwa dirinya juga menjadi penjual peti mati yang diproduksi di sini. Tanpa modal, hanya berbekal kepercayaan Pak Hasyim saja. Dalam hati aku mengucap syukur pada Allah yang telah memberikanku jalan untuk bertemu dengan orang yang bisa membantu meringankan bebanku. Benar kata Sarno, pak Hasyim adalah pria yang sangat baik. Bahkan dia bersedia mengantarkanku pulang beserta membawa 10 buah peti makin berbagai ukuran. Jika sebuah peti terjual, aku mendapatkan keuntungan sekitar lima puluh ribu rupiah beserta upahku menjualkan peti matinya. Ah ini awal yang sangat baik, pikirku. Aku berjanji tak kan mengecewakan Pak Hasyim dan menjaga kepercayaannya.
Benar saja, peti mati itu lumayan laris dikampungku. Dalam seminggu bisa terjual sebuah peti mati. Bahkan dari kampung-kampung lainnya juga banyak yang memesan peti mati kepadaku. Hidup kami semakin membaik. Aku tak perlu lagi menjadi kuli panggul pasar, bahkan Devi juga tidak perlu lagi menjadi pembantu suruhan tetangga. Uang hasil penjualan peti mati bahkan bisa kugunakan untuk memasang listrik dan membeli televisi. Aku benar-benar bahagia bisa membahagiakan Devi. Meskipun itu masih sederhana. Ah tak terasa sebentar lagi Devi akan melahirkan, dan uang kami sepertinya masih belum cukup untuk biaya persalinan serta biaya keperluan bayi kami. Sekarang dalam doa-doaku aku selalu memintaNya untuk melancarkan penjualan peti matiku. Meskipun itu artinya secara tidak langsung memintaNya untuk banyak mencabut nyawa orang-orang disekitarku, Tapi aku hanya bisa bergantung pada penjualan peti mati ini. Aku yakin Dia mau mengerti. Bukan maksudku untuk meminta orang meninggal setiap hari hanya agar peti matiku laris.
-Tamat-

Kamis, 07 Oktober 2010

Everyday, im falling in love with you :)

MODE(is)

Aku harus membeli gaun Bvlgari itu. Sepatu manolo Christian Louboutin juga. Oh ya, jangan sampai kalah sama Inez yang baru aja beli tas Channel terbaru, sepertinya tas Hermes yang itu bisa membanting Inez. Tunggu dulu ATMku kosong gara-gara bayar sewa apartemen, tabunganku habis untuk swarovski Luis Vuitton kemarin, bisa malu aku di Gala Oscar de La Renta tanpa semua itu. Om Hendrik ngajak short time di Hilton, sebaiknya dia tidak lupa membawa buku ceknya.

Sendu

Disini. Sendiri. Tak tahu mau apalagi. Mereka bilang aku terlalu santai. Mereka bilang aku tak punya harapan. Silih berganti orang datang dan pergi. Berpura-pura paling mengerti aku. Atau aku yang terlalu tak mau tau? Apa mungkin aku berlagak tak perlu? Mungkin aku hanya terlalu ingin menjadi diriku.

MENCURI anggur komuni agar bisa terus meminum darah Tuhan untuk menebus dosanya

Namaku Hena. Aku mempunyai mata bulat berwarna abu-abu, rambut merah ikal mengkilap serta mempunyai kehidupan yang kelam sebelum aku terlahir kembali menjadi Marianne Hena Patterson. Aku miskin, aku terlahir dari rahim seorang pelacur jalanan bernama Manay. Jangan tanya siapa ayahku, aku yakin Tuhan sekalipun tak kan tahu siapa ayahku, itupun kalau memang Dia ada. Setiap kutanyakan pada ibuku, dia hanya membelalakkan mata, seraya menamparku, terkadang menjambakku untuk menyuruhku diam. Disaat penyakit menular menyerang ibuku pada usiaku yang ke-5, tak ada lagi yang sudi menidurinya, sehingga kami terpaksa hidup dan mengemis di emperan toko peralatan memancing yang berbau pesing. Jangan kasihani ibuku, dia tidak selemah yang kau pikirkan. Disaat aku berumur 9 tahun, dia sudah menjualku pada seorang pria tua berkacamata berbau kamper dengan harga 2 dolar. Aku tak bisa melawan pria tua itu, dia berhasil meniduriku di sebuah loteng ditoko tempat aku dan ibuku mengemis, dan menyelipkan 5 dolar ke sakuku. “Ikutlah denganku Hena, kuberi kau hidup yang mudah, kau tak perlu melacur seperti ibumu, kau hanya perlu melayaniku kapanpun aku mau”. Aku tak suka pria berbau kamper itu, sepertinya dia terlihat setiap saat akan mati. Maka aku pukulkan kepalanya membentur tembok bata di loteng, seketika kacamatanya pecah, begitu pula kepalanya, aku pikir hal itu mempermudah hidupnya yang sudah renta. Saat aku turun dari loteng, aku berkata pada pemilik toko, seorang wanita berusia 50 tahunan dengan rambut coklat dan mata biru bernama Mrs. Deckert, bahwa ketika aku akan tidur di loteng yang biasa aku tiduri bersama ibuku atas kebaikan hatinya, aku akan diperkosa oleh pria tua, dan ketika aku melawannya dengan mendorongnya, kepalanya membentur dinding. Wanita itu menelepon Sersan Demiere, mengatakan ada perampok memasuki lotengnya, tergelincir oleh lantainya yang licin kemudian kepalanya terbentur tembok dan akhirnya mati. Sersan Demiere adalah pacar wanita pemilik toko itu, sehingga dia tak perlu repot-repot memeriksa si tua berkacamata itu lagi. Mayat lelaki tua itu langsung dipindahkan dan dikubur oleh petugas Sersan Demiere. Aku berterimakasih pada wanita pemilik toko itu, membantunya membersihkan toko, menghitung umpan yang habis terjual, serta menggosok jendela, sementara ibuku diluar toko menatapku dengan marah.
Ibuku segera menangkap rambutku, menariknya dengan keras, meludahiku, dan menyeretku kesudut jalanan yang berisi tumpukan sampah sisa pelelangan ikan setelah aku keluar dari toko Mrs. Deckert. “Kau membunuh Hendrik! Kau membunuh pemasukan kita! Bodoh! Kau idiot tak tahu terima kasih!!” ibuku terus memukuliku. “Dia akan segera mati Mom, meskipun tidak kubenturkan kepalanya. Dan dia membayarku 5 dolar, ini ambillah! Dia mengajakku tinggal bersamanya. Aku tak suka pria tua mom!” Ibuku menamparku berulangkali, sampai kurasakan anyir dibagian dalam mulutku. Dia berteriak, dengan tangan menunjuk tepat ke mataku “Kau! Pergi kau dari sini! Aku tak sudi mengurusmu lagi haram jadah! Pergilah sana jual badanmu ke nelayan-nelayan tua bangka agar sudi memberikanmu sepotong roti! Jangan kembali lagi padaku!” Aku membalas tatapannya “Mom, kau tahu, aku tak pernah sudi menjadi anakmu. Sejak kau menjejaliku dengan air bekas cucian ikan bukannya susu lemak, sejak kau menyumpalkan ikan busuk untuk meracuniku! Bahkan kau menjualku pada Hendrik keparat berbau kamper itu! Lagipula kau berpenyakit menular yang untungnya kau idap sendiri, tak ada ruginya bagiku untuk pergi.” Ibuku meninju mukaku, hidungku berdarah. Kulihat mukanya merah menahan amarah, aku marah, aku ingin membuatnya menderita, tunggu dulu aku punya pisau lipat yang biasa kugunakan untuk memotong tikus untuk makan malam disakuku. Ibuku bersimbah darah, di matanya, di perutnya, ditelinganya. Dia menggelepar, menatapku sambil terus menggelepar, lalu akhirnya terdiam. Kuseret tubuhnya keonggokan sampah yang lebih besar, kututupi dengan kardus yang banyak berserakan disekitarku. Ah Manay yang malang, disinilah akhir hidupmu. Ditumpukan bangkai ikan, diselimuti kardus bekas, di sore hari yang temaram.
Aku bertemu lelaki berusia 30-an ketika membasuh tangan dan mukaku yang berlumuran darah disebuah kran didepan rumah tua sejauh 7 blok dari onggokan mayat ibuku. “Hey, kau habis memotong siapa kali ini?” Dia tersenyum dan terus memandangiku “Hanya pelacur tua yang punya penyakit menular” balasku sambil memutar kedua bola mataku. “Menarik. Kau tampak pemberani. Berapa usiamu?” tanyanya sambil mengulurkan handuk yang lembut. “Entahlah, sepertinya 9 atau 10.” “Kau sendirian? Dimana keluargamu?” “Aku sudah jadi gelandangan sejak berumur 5 tahun, saat ibuku meninggalkanku didaerah pelelangan ikan.” Rupanya aku pandai berbohong. Kuambil handuk lembut itu, kuusapkan kekedua tanganku. Pria itu memandang langit yang menghitam, kemudian beralih menatapku lagi. “Kau tahu? Sebentar lagi badai dan kau berkeliaran? Kurasa kau pasti belum makan apapun seharian, dank au tampak sangat kacau.” Aku menunduk berpura-pura gelisah. Aku butuh makan pikirku, dan bersembunyi. Pastilah orang-orang di pelelangan ikan menemukan ibuku yang mati, dan mencariku. Mereka tahu, Hena yang malang adalah anak Manay yang pemarah, pemabuk dan pelacur. Kalaupun mereka tidak mencurigaiku, pastilah mereka mencariku untuk mengetahui keadaanku. Dan aku tidak menyukai orang-orang itu. Nelayan, penjual ikan, penjual peralatan memancing yang rata-rata sudah tua, lapuk dan berbau ikan, yang selalu memperlakukanku seperti anjing kudisan hanya karena aku anak Manay yang berpenyakit menular. “Aku bisa berteduh di emperan toko seberang jalan itu, sepertinya tidak begitu masalah jika ada badai, aku sudah terbiasa menghadapi badai,” balasku. Pria itu tersenyum, memanggil seorang wanita cantik dengan rambut pirang yang sedang menatap kami dibalik jendela. “Daisy sayang, kemarilah, kita kedatangan tamu berambut merah yang pemberani namun sangat cantik.” Wanita cantik bernama Daisy tadi sudah dihadapanku sekarang. Matanya berwarna hijau jamrud. Mata yang aneh, mana ada mata yang begitu indah pikirku. “Kau mau tinggal? Pastilah ini badai yang hebat, lihatlah langit mulai bergemuruh.” katanya seraya menggandeng tanganku. Hey, mengapa mereka begitu baik?
“Astaga, bajumu berlumur darah, benarkah kau memotong seseorang hari ini?” Daisy berseru dan tertawa seraya memeriksa baju yang baru saja kutanggalkan. Dia memberikanku gaun berwarna ungu yang pas sekali di badanku. Aku suka gaun ini, membuatku merasa terlahir kembali, apalagi setelah aku mandi dan Daisy menyikat rambutku. Aku terlihat mengkilap dan sangat wangi. Sama sekali baru pikirku. “Aku bekerja di pelelangan ikan nyonya, tugasku memotong kepala ikan dan membersihkan isi perutnya, aku terbiasa berlumuran darah.” Aku memutuskan untuk bersikap baik, selama ini tidak ada yang berlaku selembut ini padaku, meskipun wanita pemilik toko peralatan memancing itu baik hati, dia tak pernah menaruh perhatian padaku. Apalagi ibuku, ah aku tak mau membicarakan perempuan jalang itu.
“Hey, kita belum berkenalan kan?” pria itu melihatku seraya tersenyum dan menyodorkan segelas susu. Kuulurkan tanganku menyambutnya, lalu menatap matanya yang coklat. “Namaku Hena” sahutku. “Dan nama keluargamu?” sambung Daisy. “Entahlah, aku hanya ingat namaku Hena.” Pria itu mendekatiku, menjabat tanganku, hangat. “Aku John Patterson, dan ini istriku Daisy. Kau bisa memanggilku John.” Aku tersenyum, diluar badai mulai mengamuk, seperti hendak mengusir masa laluku. “Rumah kalian bagus, meskipun sepertinya sudah berusia jutaan tahun, dan aku melihat banyak perlengkapan anak-anak, bocah wanita tepatnya.” Daisy mengajakku duduk di ruang makan yang tidak terlalu besar, dihiasi dengan keramik-keramik buatan Cina yang dijelaskan John padaku. “Barang-barang itu milik Annabelle, anak kami. Dia meninggal setahun yang lalu saat seusiamu, tertabrak mobil saat sedang menyeberang dari sekolahnya. Dan ini rumah peninggalan ibuku, beliau wafat 2 tahun yang lalu karena lepra.” Kini aku tahu kenapa mereka begitu baik padaku. “Kau punya mata yang indah Daisy dan kau John, senyumanmu yang menjadikanmu tampak setampan itu.” Aku terbiasa mendengar rayuan ibuku pada laki-laki pinggiran jalan, tak heran kedua orang asing dihadapanku ini tergelak dan tampak senang mendengarnya. “Kau ini sungguh pemberani Hena” Daisy mengusap kepalaku. Aku kekenyangan, stik sapi buatan Daisy ini lebih enak dari makanan manapun yang pernah kumakan. “Kau boleh tinggal selama yang kau mau Hena.” John berbisik, dan Daisy tersenyum, membaringkanku di kasur bulu angsa yang berbau kamper. Ah rupanya Hendrik si tua menghantuiku dengan bau kamper sialan, bahkan sampai kekasurku. “Daisy” kataku seraya menggenggam tangannya “Aku tak suka bau kamper” John tergelak, Daisy meremas tanganku dan berkata “Bersabarlah Hena, besok pagi kita ganti, kau suka wangi apa?” “Daisy, aku lebih suka tidak berbau, bisakah?” “Hmm.. kita usahakan ya John?” Dan besoknya kasur bulu angsa itu tidak berbau kamper, hanya samar-samar berbau lavender.
Daisy menyukai rambutku, setiap hari dia menyikatnya sampai mengkilap. Dia juga suka mataku. Dia suka bibirku. Dia mulai berlagak bahwa aku anak perempuannya yang mati. Aku tak keberatan, aku juga berlagak dia ibu kandungku. Bukan berarti aku membayangkan dia adalah Manay, mana boleh dia dibandingkan dengan Manay, Daisy terlalu sempurna. Perlahan aku mulai memuja Daisy. Aku suka John karena John yang membuatku mengenal Daisy. Aku juga suka senyuman John. Aku dan Daisy gemar berkebun, menanam aneka mawar merah dan bunga daffodil warna kuning, menanam aneka sayuran dibelakang rumah, serta bermain bersama Duke, anjing mungil berbulu lebat kesayangan John. Aku suka membaca sambil menyandarkan kepalaku di sofa beludru coklat didepan tivi, dan terkadang melamun di kamarku. “Kau tahu, kau sudah setahun bersama kami, dan kami tidak memasukkanmu kesekolah. Maafkan kami Hena. Sekarang katakan sayang, apakah kau ingin bersekolah?” di suatu sore John menanyakan itu padaku. “Tidak John, aku bisa membaca, aku bisa menulis, dan Daisy mengajariku setiap hari. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi.” Entahlah, hatiku melunak karena pasangan ini. Aku tak merasakan kebencian lagi seperti yang kurasakan pada ibuku maupun orang-orang di daerah pelelangan ikan. “Kau ingin tinggal selamanya dengan kami Hena? Kau mau menjadi anak kami?” Daisy selalu berkaca-kaca jika membicarakan anak. “Aku akan tinggal selama yang kalian inginkan” aku turun dari sofa beludru lembut kesayangan John dan memeluk mereka berdua. Yah, aku rasa aku benar-benar sudah dilahirkan kembali, bukan dari rahim pelacur tua jahanam bernama Manay. Setahun ini kuyakinkan diriku bahwa tidak pernah ada yang bernama Manay, tidak ada pula yang bernama Hendrik. Mudah saja, aku kan baru berusia 10 tahun, pikiranku masih mudah teralih. Setahun ini pula tak pernah ada yang mencariku, entahlah, mungkin mayat ibuku ikut terbuang ke laut bersama bangkai ikan, atau mungkin sudah ditemukan seseorang yang asing yang tak mau tahu siapa perempuan mati yang teronggok di tumpukan bangkai ikan.
“Daisy! Kau kenapa? Lenganmu berdarah!” aku setengah berlari menghampiri Daisy di halaman belakang, Daisy berseru “Ambilkan aku kain bersih dan antiseptik John!” Sementara lengan Daisy makin deras mengucurkan darah. Disudut halaman kulihat Duke menggeram marah. “Daisy, kau kenapa?” John membawa selembar kain berwarna putih dan menetesinya dengan antiseptik yang kemudian kubalurkan ke lengan Daisy. “Tenanglah kalian berdua. Aku hanya tergigit Duke saat kucoba membersihkan piring makannya. Astaga, akhir-akhir ini Duke pemarah sekali John!” John menyunggingkan senyum favoritku, dan memeluk Daisy “Kurasa harus kubawa kau ke dokter sayangku, siapa tahu kau terkena rabies” Daisy mencubit John seraya berpaling kearahku yang membeku menatap Duke. “Hena, sayang, tak apa. Jangan takut pada Duke, dia hanya sedikit galak akhir-akhir ini. Jauhi saja piring makannya okay?” John tergelak, dan memasui rumah setelah mencium Daisy dan mengecup keningku seraya mengatakan akan pulang malam hari ini. Aku bersikeras Daisy tidak boleh melakukan apa-apa hari ini. Kupaksa dia tetap di tempat tidurnya yang berwarna merah jambu. “Kau harus istirahat Daisy, biarkan aku dan Madeline yang memasak.” “Kau temani saja aku disini Hena, biarkan Madeline memasak sendiri.” “Dan membiarkannya menghanguskan pancimu lagi Daisy?” kami berdua tergelak. Madeline adala pelayan Daisy. Dia wanita berdarah Meksiko yang mempunyai wajah berbintik-bintik, dan sama sekali tidak bisa memasak, berlogat Meksiko kental dan selalu menyukai rambutku dan rambut Daisy.
“Madeline, aku akan mandi, kau memasak saja dulu, dan usahakan jangan menghanguskan apapun okay?” Madeline tertawa melihatku berkata padanya seraya mengedipkan sebelah matanya. Setelah shower kamar mandi dapur kuhidupkan, aku memanjat melewati jendela, melompat ke taman belakang. “Duke, kau tidak semanis yang kelihatannya” pikirku sembari mengelus kepalanya. Duke hanya menatapku dengan matanya yang besar, “sayang sekali Duke, kau tidak bersikap baik pada Daisy,” “tunggulah, sepertinya pisau yang kugunakan menusuk Manay masih ada disini” Aku mencari-cari di saku celana jeansku. Pisau itu pisau lipat yang tidak tajam dan juga berkarat. “Ayo Duke, ikut aku jalan-jalan sebentar” perlahan kugendong Duke. Tidak susah menggendongnya, apalagi Duke tidak melawan, dia pikir aku benar-benar mengajaknya jalan-jalan. Anjing memang selalu percaya dengan apapun yang didengarnya. Tidak jauh dari rumah, ada sebuah tempat pembuangan sampah yang berupa lubang menganga diatas tanah. Aku pernah membuang seekor kucing yang hampir mencakarku ketempat itu, dan sejauh yang aku tahu, tak ada yang memperhatikan siapa yang membuang sampah kesana. Aku tidak mau berlumuran darah Duke, Daisy akan curiga. Kuputuskan kupekap mulut Duke dengan jaket yang kugunakan, pasti dia akan sesak napas dan mati kan? Hey, anjing bodoh itu menggigit jaketku dan mencoba lari, maaf Duke, maaf sayang, tampaknya kau butuh kematian yang lebih cepat. Pisauku berbicara, seketika Duke berlumuran darah didepan lubang pembuangan sampah yang menganga. Untung hari ini sepi sekali pembuangan sampah ini pikirku. Duke, kau ribut sekali, ini makanlah jaketku! Kusumpal terus mulut anjing itu, sampai akhirnya dia terkulai penuh darah. Oh ini bukan jenis kematian yang indah Duke, ini balasanmu telah menggigit Daisy-ku! Jaketku berlumuran liur Duke, dan tanganku lagi-lagi bersimbah darah. Kutendang badan Duke hingga berguling dan masuk ke tempat pembuangan. Tidak akan ada yang mencarimu disini Duke. Selamat tinggal sayang, kuberi dia senyuman terakhir dan kukatakan padanya bahwa aku mengampuninya. Sebaiknya pisauku yang berkarat dan berlumur darah diujungnya kubuang sekalian. Selalu ada hal buruk terjadi jika aku membawa pisau itu.
“Hey Hena, apa yang kau lakukan didalam sana? Kau tidak mati kan” seru Madeline dengan logatnya seraya mengikik. “Tunggulah Madeline! Aku sedang membersihkan rambutku!” balasku sambil sesekali bersenandung. Memanjat kembali ke jendela kamar mandi adalah pekerjaan yang sulit, berkali-kali aku tergeincir. Tapi sekali lagi aku mendapatkan keberuntungan, dan aku yakin Daisy dan Madeline tak kan menyadari apa yang telah terjadi pada Duke, apalagi John, dia memujaku seperti anak kandungnya sendiri. Harus kuapakan jaket berliur ini? Sepertinya kurendam saja, lalu menyuruh Madeline mencucinya, dan mengatakan padanya jaketku terjatuh di bak mandi saat aku melepasnya. Tentunya setelah jaket bodoh ini kubersihkan dari liur Duke. Madeline memasak spagheti dan kubantu dia menggoreng beberapa kentang serta mengupas wortel untuk stik kesukaanku. “Sebaiknya kau bangunkan Daisy, Hena. Dia belum makan apapun, dan ini sudah jam 2 siang.” “Kau yakin tidak menghanguskan panci stik kesayangan Daisy kan?” seruku sambil berlari kekamar Daisy. Sekali lagi Madeline tergelak. Pembantu Meksiko itu suka sekali tertawa batinku. Daisy memuji masakan Madeline dan Madeline mengatakan dia mendapat resep spageti itu dari catatan yang menempel di pintu kulkas. Daisy mengatakan dia senang Madeline ada kemajuan dan tidak menghanguskan apapun, meskipun aku bilang pada Madeline bahwa stik buatannya tidak seenak buatan Daisy. Sepertinya Daisy memang tidak menyadari Duke tidak seramai biasanya, bahkan sepertinya juga tidak menyadari bahwa Duke sudah mati. “Hena, kau mau menemaniku akhir pekan ini?” Hey, dia mau mengajakku kemana? “Tentu, mau kemana kita?” Daisy tersenyum seraya meraih tanganku, “Aku sudah lama tidak mengunjungi Bapa Louis di Kapel Salomon.” “Eh, kau mengajakku kegereja?” mataku membulat dan mulutku menganga. Aku belum pernah ke rumah Tuhan, aku bahkan tidak yakin Dia ada. Aku tidak mengenal satu pendeta-pun selama hidupku. “Kau akan menyukai Bapa Louis, dia orang yang baik” sekarang Daisy mulai mengelap mulutku yang belepotan saus stik. “Kurasa aku tak punya pilihan lain Daisy” kucium pipinya, dan dia memelukku. “Yeah, kau akan kupotong untuk makan malamku jika kau menolak” bisiknya dan kami tertawa.
“Apakah kalian tidak melihat Duke?” di hari ketiga setelah kematian Duke, John mulai mencarinya. “Tidak John, setelah dia menggigitku, aku tak pernah mendekati kandangnya. Aku khawatir dia masih dendam padaku dan menyerangku lagi. Kau bagaimana Hena? Madeline?” Daisy mematikan tivi dan duduk disamping John di sofa beludru kesayangan John. “Aku belum ke taman belakang John, karena Daisy sedang tidak ingin berkebun akhir-akhir ini, rupanya gigitan Duke membuatnya kapok” aku berkelakar dan duduk diantara mereka memainkan ujung rambut Daisy yang mengkilat. “Saya memberinya makan seperti biasa Mr. John, tapi memang dia tak pernah ada dikandangnya, makanannya juga tidak tersentuh. Saya pikir dia sedang bermain entah kemana, karena pintu anjing dipagar belakang rumah kita selalu terbuka” logat Meksiko Madeline menyahut dari atas bak cuci piring. “John, ini bukan pertama kalinya Duke menghilang, dia pasti bisa menemukan jalan pulang” John mengecup Daisy di bibirnya, dan menyapukan ciuman hangat di keningku. “Benar, aku sibuk sekali akhir-akhir ini. Mungkin Duke kesepian, tidak ada yang mengajaknya bercanda.” “Aku ingin mengajaknya bermain John, tapi aku takut kehilangan sebelah lenganku” perkataanku membuat kami semua tergelak. Ini keluargaku, batinku. Aku akan melakukan apapun untuk melindungi Daisy, dan mungkin juga John. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian, John berhenti menanyakan Duke dan menolak usulan Daisy untuk mengadopsi lagi seekor anjing di tempat penitipan hewan. Sepertinya luka hati John akan kehilangan Duke teramat dalam. Tapi tak akan kubiarkan John bersedih, maka setiap selepas dia pulang kantor di sore hari, aku selalu mengajaknya bercanda, membuatkannya secangkir kopi panas, menggodanya bersama Daisy, saling melempar bola di halaman belakang dan bermain scrabble kegemarannya. Perlahan John tidak lagi murung jika menatap kandang Duke.
Rupanya Daisy serius ketika mengatakan akan mengunjungi Bapa Louis. Di akhir pekan yang mulai berselimut salju, dia membawaku menggunakan mobilnya ke Kapel Salomon di utara kota. “Daisy, kenapa kau tidak mengajak John?” Daisy tersenyum “John tidak begitu suka ke Kapel Salomon, dulu ayahnya meninggal di Kapel itu, terkena serangan jantung saat misa berlangsung.” “Kalian berasal dari kota ini? Wow aku baru tahu.” Kulihat jalanan mulai berkelok kelok dan salju dimana-mana. “Hena sayangku, lebih dari satu setengah tahun kau bersama kami dan aku belum menceritakan asal usul kami rupanya ya? Kau tak perlu cemas, kami bukan pemangsa anak-anak atau semacamnya.” Aku tertawa keras “Oh seriuslah Daisy!” kuputar kedua bola mataku dan Daisy tergelak-gelak. “John berasal dari sini. Rumah yang kita tempati adalah warisan orang tuanya. Keduanya sudah meninggal. Ayahnya seperti yang kukatakan padamu, meninggal terkena serangan jantung saat misa di usia John yang ke-9. Sama seperti usiamu ketika John menemukanmu didepan rumah.” “Aku yang menemukan John, Daisy. Aku yang berjalan kerumah kalian” balasku. “Yeah tuan putri, kau yang menemukan kami, dan kau membawa kebahagiaan lagi didalam rumah kami. Kurasa surat-surat pengadopsianmu sudah selesai dan kau menjadi seorang Hena Patterson.” “Kedengarannya asik” “Tentu saja, berapa juta anak yang ingin jadi Hena Patterson sayang?” “Entahlah, mungkin milyaran anak, mengingat kalian pasangan yang begitu manis.” “Kau pandai mengambil hatiku Hena.” “Apa itu menyakitimu?” “Tentu tidak! Kau mengambil hatiku dan memberinya sejuta warna! Kau memang tidak mirip Annabelle putriku, tapi kau membawa keceriaan yang sama hebatnya dengannya.” Daisy mulai berkaca-kaca lagi, dan aku tak suka melihatnya begitu. “Syukurlah aku berguna buat kalian Daisy, jika tidak sudah pasti kau akan membuangku kesuatu tempat di planet lain.” Daisy tergelak sampai mengeluarkan airmata. “Kau tahu Daisy? Aku sayang kau, aku sayang John, dan mungkin aku juga sayang Madeline. Hey, tadi kau menceritakan John, bagaimana denganmu? Kau dari kota ini juga?” dan Daisy menceritakan padaku bahwa dia dipungut oleh Bapa Louis dari selatan kota setelah keluarganya habis terkena serangan angin besar pada usia 11 tahun, dan dipelihara dengan baik di gereja. Sebagai gantinya Daisy membersihkan gereja, menggosok bangku gereja dengan sikat dan sabun setiap bulan, merapikan taman gereja, dan sesekali membersihkan patung Yesus dan Bunda Maria. Daisy juga menceritakan dia yang harus mengisi piala dengan anggur yang diberikan Bapa Louis padanya dan menyediakan roti komuni yang harus diambilnya dari pembuat roti setiap sepekan sekali di suatu tempat yang harus dicapainya dengan menggunakan sepeda. Aku menanyakan untuk apa anggur di piala dan apa itu roti komuni, Daisy menjelaskan bahwa apabila roti dicelupkan ke anggur dan kau memakannya pada saat komuni, Tuhan yang menjadi penebus dosamu. Aku takjub, aku ingin bebas dari dosa. Berarti aku hanya perlu makan roti dan minum anggur gereja itu! Benar-benar menyenangkan membayangkanku terlepas dari dosa membunuh Hendrik, Manay dan Duke. Aku akan menjadi putrimu yang sempurna Daisy, dan mataku membulat seiring dengan kebulatan tekadku. Tak kuhiraukan lagi perkataan Daisy yang menjelaskan bahwa anggur dan roti itu hanya simbol, yang paling penting aku tahu caranya menjadi anak sempurna bagi Daisy dan John.
“Kalian ke kapel? Bagaimana kabar Bapa Louis?” John menyambut kami begitu kami tiba memeluk Daisy yang kedinginan, dan menggandeng tanganku yang sedingin salju. “Astaga, kalian membeku! Madeline, siapkan coklat panas dan nyalakan perapian!” Seraya meminum coklat panas di kursi kayu panjang berlengan didekat perapian sembari memelukku, Daisy menceritakan betapa Bapa Louis bahagia menerima kedatangannya dan aku, memuji betapa Daisy sudah bisa berbesar hati menerima kepergian Annabelle, mengatakan bahwa aku adalah malaikat yang Tuhan kirimkan untuk mengobati kesedihan mereka, serta memujiku sebagai gadis yang cantik dengan mata serupa kabut dengan rambut merah terang. Bapa Louis juga mengatakan dia merindukan John, dan itu membuat John merenung, kurasa dia teringat kematian ayahnya di kapel itu. kurangkul leher John, kukecup pipinya dan berbisik “Kau lebih beruntung dari aku John, kau sempat mengenal ayahmu sampai usia 9 tahun.” “Terimakasih sayang. Aku ayahmu sekarang, jangan ragukan itu, sekarang kau istirahatlah” dia membalas kecupanku, menggendongku ke kasur bulu angsaku, lalu menutup pintu kamar. Samar-samar kudengar Daisy menanyakan surat adopsiku di telepon dan akhirnya mereka memekik gembira. Sepertinya aku sudah resmi menjadi Hena Patterson. Tidak ada yang spesial setelah kejadian itu, setiap akhir pekan aku dan Daisy mengunjungi Bapa Louis, membawakannya pai apel buatan kami, seikat mawar dari beranda, serta sekeranjang susu domba. Aku menyukai Bapa Louis, meskipun keriputnya mengingatkanku pada Hendrik, namun tatapan matanya teduh dan dia senantiasa tersenyum, dan yang paling penting dia sangat baik terhadap Daisy dan aku tahu Daisy menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Bapa Louis mengatakan aku harus di baptis, John dan Daisy setuju, maka 3 hari menjelang natal aku mendapatkan nama Marianne dari baptisanku. Aku resmi menjadi Marianne Hena Patterson, dan semua orang mulai memanggilku Anne. Tetap saja aku masih merasa menjadi anak haram dari pelacur bernama Manay yang pernah membunuh dua manusia, seekor kucing jalanan dan seekpr anjing meskipun tiap akhir pekan aku mengikuti misa dan mendapatkan komuni. Bagaimana mungkin semua dosaku terampuni jika roti komuniku hanya dicelupkan ujungnya saja di piala anggur yang merupakan darah Tuhan? Dosaku kan banyak sekali. Suatu hari Bapa Louis menjelaskan padaku, setelah kutanyakan apa saja yang disebut dosa itu. Dia menjelaskan selain tidak mempercayai Tuhan, menyakiti ciptaanNya adalah dosa terberat kedua, apalagi membunuh ciptaanNya. Aku mulai gelisah, seharusnya aku mendapat seluruh darah Tuhan agar Dia benar-benar menjadi penyelamatku. Aku mulai menjadi seorang yang pemurung dan mulai gemar mengunci diriku di kamar, dan terobsesi anggur komuni. John dan Daisy khawatir melihatku, namun kukatakan aku hanya sedang sedih memikirkan keluargaku, dan hal itu membuat John dan Daisy sering memeriksaku kekamar sekadar untu memelukku dan meyakinkanu betapa mereka menyayangiku. Aku membalas mereka dengan mengatakan aku menyayangi mereka juga, dan aku rasa aku tidak berbohong.
Pada saat usiaku 12 tahun, aku masih menolak disekolahkan. Sebagai gantinya, seorang guru bernama Mrs. Sculth diundang mengajariku setiap pagi dirumah, dan Daisy selalu menemaniku belajar. Kurasa jika tidak ada Daisy yang menemaniku seraya sesekali mengusap kepalaku, aku sudah mematahkan leher si Schult itu. Dia menyebalkan, matanya bengis, seperti mata Manay ketika melihatku. Aku bertekad dalam hati aku tak kan melumuri tanganku dengan darah lagi, dosaku yang terdahulu saja belum diampuni, jika aku semakin berlumuran dosa, Daisy dan John akan membenciku cepat atau lambat, dan aku tak ingin hal itu terjadi, tapi jika si brengsek Schult itu masih menyebalkan, aku rasa dia memang harus disingkirkan. Entah dengan cara meminta John menggantinya, atau menyingkirkannya ke lubang sampah tempatku menyingkirkan Duke. Semoga John mau menggantinya, daripada aku harus menusuknya seperti apa yang kulakukan pada Manay. Beruntung, Daisy menangkap ketidaksukaanku pada Schult si brengsek, dan dia meminta John memberhentikan Mrs. Schult, sebagai gantinya, dia memasukkanku ke sekolah Minggu di Kapel Solomon. Aku senang karena disana aku akan mencari cara mengambil sebanyak mungkin anggur untuk kuminum setiap malam, agar Tuhan menjadi penebus dosaku selamanya. Di sekolah Minggu aku diajari oleh Bapa Louis bersama beberapa teman sekelas, dan setiap selesai sekolah, dia memintaku menemaninya berjalan-jalan disekitar taman dan menceritakan padaku penderitaan Christus berulang-ulang. Kurasa aku hanya sangat menyukai caranya bercerita, dan aku sama sekali tidak menyimak apa yang diceritakannya. Aku menanyakan dimana mereka mendapat anggur untuk komuni, dan Bapa Louis mengatakan bahwa anggur itu adalah anggur terbaik seantero negeri, dan disimpan baik-baik di gudang anggur di bawah kapel. Aku bilang aku ingin melihatnya, tapi Bapa Louis mengatakan, wilayah itu terlarang, selain pendeta dan suster, tiak ada yang boleh mengambilnya, karena anggur-anggur tersebut sudah diberkahi sendiri oleh Paus, sehingga sama sucinya dengan air suci. Tapi dia mengajakku kedalam kapel dan menunjukkan jalan kebawah tanah menuju gudang anggur tersebut. “Dipintu gudang, ada penjaga, seorang prajurit dari masa perang, kau harus membawa kunci, jika tidak, dia akan mengusirmu dengan tongkat” Bapa Louis berbisik serta membimbingku yang terpana akan jalan bawah tanah itu, menjauh menuju altar gereja. “Dengar, tanpa anggur komuni-pun, jika kau berdoa dan meminta ampun sepenuh hatimu padaNya seraya bersujud dihadapannya seperti disini, Dia akan mengampunimu, Dia Maha Pengasih dan Pengampun sayangku” aku mengangguk, bukan setuju akan perkataannya, namun aku mulai menyusun cara bagaimana menyelinap ke gudang anggur. Daisy menjemputku pada pukul 6 sore, dan membawakan Bapa Louis sekarung gula pasir.
Aku melihat mata Daisy sembab seperti habis menangis, aku diam sepanjang perjalanan. Memikirkan mata Daisy yang membengkak, memikirkan apa yang menyakitinya, mungkin John berselingkuh dengan Madeline, oh itu ide buruk John, kau akan menerima balasannya dariku. Atau mungkin dia teringat Annabele, tapi dia sudah bersumpah tak kan mengingat Annabelle dengan air mata, kenapa sih dia? Sebagian diriku yang lain masih memikirkan anggur komuni. Aku benar-benar menginginkannya untuk seumur hidup kuminum, aku ingin bebas dari dosa terkutukku dan menjadi Marianne Hena Patterson yang benar-benar baru demi Daisy dan John yang kusayangi. “Kau pendiam sekali sore ini Anne. Kau sakit?” aku hanya menggelengkan kepala. “Kau tidak ingin bercerita padaku ada apa sebenarnya?” Aku masih menggelengkan kepala, berbisik lirih “Aku hanya memikirkan kenapa matamu bengkak dan sarat airmata Mom.” Ah panggilan Mom kepada Daisy membuatku bergetar, seakan aku benar-benar anaknya. Daisy dan John memang memintaku memanggil mereka dengan sebutan Mom dan Dad setelah surat pengadopsianku selesai, namun mereka tak memaksakannya, mereka menungguku mengucapkan sendiri panggilan itu kapanpun aku mau. Dan aku mulai memanggil mereka Mom dan Dad tepat diulang tahunku yang ke 12 minggu lalu. “Ah kau selalu tahu jika aku habis menangis Anne.” Aku membisu sepanjang sisa perjalanan, kulihat Daisy menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Aku bersumpah dalam hati akan kuremukkan John jika memang dia yang membuat Daisy seperti ini. Persetan dengan dosa. Aku masih bisa mencuri anggur komuni untuk menebusnya. Aku tak rela Daisy disakiti. Daisy menggandengku menuju sofa beludru, disana kulihat John dengan mata membengkak juga, yang langsung mendekapku. “Hena, atau Anne atau siapalah namamu, aku tak peduli, kau anakku, aku tak peduli aku sudah punya kau...” “Hey, ada apa Dad? Mom? Jelaskan padaku, kumohon!” Kutepis tangan John dari bahuku. Dalam hati aku cemas, mungkinkah setelah 3 tahun, mayat ibuku ditemukan, dan aku diketahui sebagai pembunuhnya? Aku gemetar ketakutan membayangkan terpisah dari Daisy dan John. “Sayang, tak perlu ada yang kau cemaskan.” Daisy memelukku yang gemetaran “Hanya saja, kami sangat terpukul, kami takkan bisa punya anak lagi sayang.” Aku mengejang, apa maksudnya? Mereka berencana mempunyai anak lagi? Dan akhirnya gagal? Hatiku diliputi kekecewaan dan perasaan terbuang, namun seketika kebahagiaan menerjangku, Daisy tadi juga mengatakan bahwa dia tak kan punya anak lagi? “Apa yang tejadi? Aku hanya beberapa jam di kapel dan kalian menangis dan meraung-raung seperti bayi? Ada yang mau menceritakan ada apa ini sebelum aku membenturkan kepalaku akibat penasaran dan kebingungan??” John mengangkat kepalanya, menatapku dan mengatakan betapa aku sangat pemarah, lalu mulai menjelaskan, tadi pagi setelah Daisy mengantarkanku ke kapel, dia mengalami sakit perut yang hebat, meelepon Dr. Smiths ahli kandungan langganan kami, menyuruhnya datang, lalu menelepon John. Ternyata Daisy terserang kanker rahim, dan besok rahimnya harus diangkat. “Dad, kau tahu mom sedang sakit dan kau membiarkannya mengemudi? Kau ini suami macam apa?” seruku pura-pura marah. Daisy tersenyum, melingkarkan tangannya kepada John dan berbisik “Aku takkan membiarkan John menyetir dipenuhi airmata.” Seketika John tergelak dan menyahut bahwa Daisy dan aku adalah dua wanita terkuat yang pernah dilihatnya. Aku lega, aku akan menjadi anak mereka selamanya, namun hatiku semain diliputi kegelisahan. Aku harus segera mendapatkan anggur itu. Segera.
Daisy sembuh total setelah menginap di rumah sakit selama 3 hari. Aku dan John menemaninya. Dan aku sudah lega sekarang. Aku sudah menjadi Marianne Hena Patterson, tanpa dosa pembunuhan yang menghantuiku. Benar, aku sudah mendapatkan anggur itu. Anggur komuni sudah tersimpan rapi di laci lemariku. Lengkap bersama alkkitab pemberian Bapa Louis. Jangan berpikir bahwa aku dengan mudah mendapatkan anggur itu. Setelah Daisy masuk rumah sakit di pagi hari yang dingin dan beku, aku mengatakan pada John dan Daisy bahwa aku akan menyusul kerumah sakit naik taksi setelah aku belajar di sekolah Minggu. Kenyataannya aku menelepon teman sekelasku, memintanya menyampaikan pada Bapa Louis bahwa aku akan terlambat karena harus mengantarkan Daisy kerumah sakit. Aku naik taksi ke Kapel Solomon, menyelinap ke kamar Bapa Louis, mencari kunci gudang anggur dilemari pakaiannya, lalu turun ke gudang bawah tanah, dan aku terkejut karena tidak ada penjaga seperti yang dikatakan Bapa Louis. Itu adalah saat yang menegangkan, sebab jika aku ketahuan, Bapa Louis akan marah dan mengatakannya pada John dan Daisy. Mereka akan mengusirku. Tidak, aku tidak boleh ketahuan. Aku masuk kegudang anggur dan ternganga. Ratusan bahkan mungkin jutaan botol tersimpan disini dan semuanya ada label “diberkahi Paus”. Astaga dosaku pasti akan tertebus dengan darah Tuhan sebanyak ini! Aku mengambil 10 botol anggur, kumasukkan kedalam tas yang biasa kupakai saat sekolah minggu, menyembunyikannya ke lubang dibawah talang air ditaman gereja, meutupinya dengan batu-batu, mengembalikan kunci ke lemari Bapa Louis, lalu mengikuti sekolah Minggu dan berdalih tidak membawa tas yang berisi alkitab dan buku karena berangkat langsung dari rumah sakit. Bapa Louis sangat percaya padaku, dia takkan bertanya macam-macam pada John dan Daisy. Pada akhir sekolah Minggu dia menitipkan salam pada Daisy, lalu mulai berdoa di altar gereja, aku mengecup pipinya dan mengatakan aku menyayanginya, lalu berlari ketaman, mengambil tasku, lalu menyetop taksi dan pulang. Kusuruh taksi menungguku sementara aku berlari kekamar menyembunyikan curianku, menyapa Madeline, lalu aku kerumah sakit. Malam harinya, aku pulang diantar John kemudian aku berdoa pada Tuhan, seraya meminum anggur, setengah cangkir setiap malam dan aku mulai merasakan betapa tubuhku ringan tanpa dosa. Sekarang, tak ada yang perlu kurisaukan lagi. Aku sudah bersih, selama aku terus meminum anggur suci itu, jika habis, aku akan mencari cara bagaimana bisa mendapatkannya lagi. Aku tak pernah menyakiti siapapun sekarang, aku selamanya menjadi anak dari John dan Daisy Patterson yang bernama Marianne Hena Patterson.


-Tamat-

Aku Nereid

Aku Nereid. Aku selalu bergulung dalam ombak, menari bersama hujan serta bernyanyi bersama angin. Aku wanita, aku cantik, aku arwah. Aku akan membingungkan arahmu, mengacaukan kompasmu, dan mengirimkan badai padamu. Aku tak kan pernah sudi muncul secara langsung dihadapanmu, meskipun kamu sudah memanggilku dan terapung-apung dilautan selama hidupmu. Tanyakan pada bangkai-bangkai lelaki didasar lautan, bagaimana rupaku.
Aku Nereid. Jangan sekali-kali menantangku jika kau tak punya kemampuan seperti Ares. Ares, dewa perang yang bodoh, hanya bisa berperang, tak perah bisa memakai otak. Kuceritakan padamau betapa dia memohon pada kaki Poseidon untuk diampuni setelah bertarung denganku. Jangan tanyakan siapa Poseidon, dia ayah segala lautan. Bukan berarti aku tunduk padanya, aku menghargainya. Poseidon agung dan mulia, menciptakan kuda dari buih-buih lautan, menciptakan Dryad yang pemalu. Oh kau sungguh bodoh, kau pasti belum pernah bertemu Dryad, dia jauh lebih mepesona dibandingkan aku. Jauh lebih pemalu, namun jauh lebih kejam. Jika aku hanya membenturkan tiang kapalmu ke batu karang, Dryad akan meremukkan kepalamu terlebih dahulu dengan tiang kapalmu. Sungguh bodoh jika kau ingin bertemu kami arwah lautan.
Aku Nereid. Panggil aku sesuka hatimu, aku akan langsung datang padamu, setelah kau menjadi bangkai didasar lautan ini. Rayu aku sesuka hatimu, kau tahu kau tak kan mampu.