Senin, 11 Oktober 2010

Penjual peti mati berdoa setiap malam agar banyak yang mati buat biaya istrinya melahirkan


Kami muda, bodoh, dan miskin tapi kami yakin kami punya cinta. Aku berusia 20 tahun dan aku akan menikahi Devi yang berusaha 17 tahun. Pekerjaanku adalah petani sewaan. Aku tidak punya sawah, aku hanya mengerjakan sawah tetangga dengan upah 50 ribu seminggu. Memang tidak cukup, tapi kami punya cinta yang kami yakini bisa menopang hidup kami. Devi yatim piatu. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu, ayahnya dipenjara karena pernah memperkosa Devi. Hidup calon istriku itu sungguh tragis. Tapi tak masalah, karena sekali lagi kami punya cinta. Minggu depan pelaksanaan ijab kami. Yah, tidak besar-besaran, mana bisa aku menyelenggarakan pesta besar, aku juga yatim piatu sama sepertinya. Orangtuaku entah dimana, kata nenekku yang baru meninggal kemarin, yang mengasuhku sejak kecil, ibuku merantau ke negeri tetangga, ayahku kerja di kota. Tapi seumur hidup aku belum pernah dikunjungi mereka sekalipun, apalagi merasakan uang kiriman mereka  Sekali lagi tidak apa-apa, yang penting kami sah menikah dihadapan Allah Tuhanku dan juga Negara.
Pernikahanku sangat sederhana, hanya mengundang penghulu, maskawinnya saja cuma cincin 2 gram yang setelah acara selesai langsung dijual untuk beli beras.  Untung Devi tidak mengeluh. Devi wanita cantik yang baik hati, dia selalu mendukungku, tidak pernah protes akan kemiskinan kami, sangat menghormatiku, juga sangat menyayangiku. Ah aku beruntung mendapatkannya, meskipun tetangga-tetanggaku terkadang suka mencibirnya hanya karena dia pernah diperkosa bapak kandungnya. Itu bukan salah Devi. Aku tau itu. Aku tak peduli apa dan bagaimana Devi. Aku yakin kami akan punya keluarga yang bahagia, sakinah mawadah warohmah. Suatu hari yang cerah, Devi membisikkan sesuatu di telingaku. “Mas, badan Devi panas. Tolong mas nggak usah masak, beli saja di warung depan ya mas, tapi uang kita hanya lima ribu rupiah, beli seadanya aja ya mas, jangan ngutang tetangga lagi. Kita belum bisa bayar utang beli gula kemarin.”  Ya Allah, baru menikah seminggu saja, aku sudah berhutang untuk membeli keperluan sehari-hari. Upahku tidak cukup untuk biaya seminggu, apalagi sekarang Devi sakit. Ya Allah, aku tak mampu membawanya berobat. Aku hanya bisa tersenyum, menabahkan hati Devi sembari dalam hati menabahkan diriku sendiri. Lima ribu rupiah dapat apa? Ya Allah, tak sepantasnya aku mengeluh. Tak apalah hari ini biar Devi yang makan nasi dan sayur lodeh beserta tempe gorengnya. Aku bisa menahan lapar sampai esok hari aku punya gaji untuk membeli nasi.  
Sore yang cerah. Aku melepas penat di gubuk dipinggir sawah ketika aku mendengar kabar paling buruk dalam hidupku. Ya Allah, sawah tempatku bekerja akan digusur untuk pembangunan perumahan. Pak Sastro, pemilik sawah yang kugarap mengabarkan hal itu padaku. Aku lemas, bisa apa lagi aku? Mau kerja apa lagi? Aku tak pernah sekolah. Nenekku-lah yang menjadi guruku satu-satunya, yang mengajariku membaca dan menulis. Mana ada yang mau mepekerjakan aku. Paling hanya buruh serabutan yang bisa kulakukan, itu artinya pemasukanku akan jauh lebih sedikit daripada ini. Pak Sastro berbaik hati, memberikanku pesangon dua ratus ribu rupiah. Alhamdulillah. Tapi uang ini akan langsung habis membayar hutang Mbak Minah, toko kelontong satu-satunya didesaku untuk membayar beras, sabun, odol, shampo, gula, telur, obat nyamuk dan minyak goreng. Lalu sehabis itu bagaimana kami bisa hidup? Ya Allah tolonglah kami.
Tiga bulan terburuk dalam hidupku. Aku bekerja serabutan sebagai kuli panggul dengan upah seribu rupiah setiap membawakan belanjaan ibu-ibu  yang berkilo-kilo beratnya, nenek-nenek yang kesulitan membawa pisang, atau para wanita penjual daging di pasar. Sehari, aku hanya bisa membawa uang paling banyak delapan ribu rupiah. Tak jarang aku bahkan tidak mendapatkan sesen pun. Devi membantu tetangga mencuci baju, menyetrika, atau terkadang membersihkan rumah para tetangga. Itupun tidak setiap hari mereka  meminta Devi mengerjakannya. Ya Allah aku yakin Engkau punya rencana baik untuk kami. Hal itu terbukti, Devi kemudian hamil, Allah mempercayakan rejeki mulia itu pada kami. Aku tak berani menggugat Engkau, tapi kami mohon, berilah kami kemudahan dalam rejeki. Dengan apa nanti biaya melahirkan istriku dan bagaimana kami bisa mengasuh anak itu nanti. Bahkan aku tak kan sanggup memberikanmu makanan yang sehat untuk calon bayi itu. Aku hanya bisa menangis ditiap doa-doaku, namun aku tak lupa berterima kasih padaMu ya Allah, Kau berikan aku istri yang begitu tabah menjalani kemiskinan yang menghimpit hidup kami.
Suatu siang di pasar, aku melihat ada tulisan iklan yang menyebutkan adanya kesempatan untukku dan istriku untuk menjalani hidup yang lebih layak. Tulisan itu menyebutkan “DIBUTUHKAN RESELLER PETI MATI, TAK PERLU MODAL, CUKUP HANYA KEJUJURAN.” Aku tak mengerti arti apa itu reseller, aku tanyakan pada penjaga kios kelontong yang ditempeli iklan itu. Reseller artinya adalah penjual kembali. Artinya kau harus membeli sejumlah peti mati untuk kau jual kembali dan kau akan mendapatkan upah serta keuntungan dari situ. Begitulah dia menjelaskan arti reseller. Ah sepertinya ide yang bagus, dikampungku belum ada penjual peti mati, sehingga apabila ada yang meninggal, mereka harus kekota yang berkilo-kilo jauhnya hanya untuk membeli peti mati. Aku langsung mendatangi alamat yang ada di iklan tadi. Ternyata lumayan jauh juga dari pasar. Aku harus naik bis dua kali, dan akhirnya berjalan kaki cukup lama untuk menuju alamat itu. Hasil kerjaku hari ini habis untuk ongkos kesana. Tapi tak apa, demi memperbaiki hidup kami, apalagi Devi kan sedang hamil. Perbaikan hidup jelas harus segera dilakukan. Aku tak mau melihat Devi sengsara terus menerus.
Alamat yang aku tuju adalah sebuah rumah besar lengkap dengan para tukang kayu dan pengrajin lainnya yang sedang membuat peti mati. Ini rupanya tempat industri peti mati. Ya Allah aku merinding melihatnya, terbayang suatu saat nanti akulah yang terbaring dalam peti mati itu. Aku bergidik, kemudian memberikan salam pada seseorang yang sedang mengecat peti mati. “Walaikumsalam pak. Ada keperluan apa ya?” Tukang cat peti itu menjawab salamku, dan aku katakan bahwa aku melihat iklan dipasar dan ingin menjadi reseller peti mati yang mereka produksi. Tukang cat itu memperkenalkan diri sebagai Sarno, dan dia mengajakku kedalam rumah besar untuk bertemu juragan mereka yang bernama Pak Hasyim. Sarno mengatakan Pak Hasyim adalah lelaki yang baik. Dia menawarkan adanya reseller dengan tujuan untuk membantu orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Sarno juga menambahkan bahwa dirinya juga menjadi penjual peti mati yang diproduksi di sini. Tanpa modal, hanya berbekal kepercayaan Pak Hasyim saja. Dalam hati aku mengucap syukur pada Allah yang telah memberikanku jalan untuk bertemu dengan orang yang bisa membantu meringankan bebanku. Benar kata Sarno, pak Hasyim adalah pria yang sangat baik. Bahkan dia bersedia mengantarkanku pulang beserta membawa 10 buah peti makin berbagai ukuran. Jika sebuah peti terjual, aku mendapatkan keuntungan sekitar lima puluh ribu rupiah beserta upahku menjualkan peti matinya. Ah ini awal yang sangat baik, pikirku. Aku berjanji tak kan mengecewakan Pak Hasyim dan menjaga kepercayaannya.
Benar saja, peti mati itu lumayan laris dikampungku. Dalam seminggu bisa terjual sebuah peti mati. Bahkan dari kampung-kampung lainnya juga banyak yang memesan peti mati kepadaku. Hidup kami semakin membaik. Aku tak perlu lagi menjadi kuli panggul pasar, bahkan Devi juga tidak perlu lagi menjadi pembantu suruhan tetangga. Uang hasil penjualan peti mati bahkan bisa kugunakan untuk memasang listrik dan membeli televisi. Aku benar-benar bahagia bisa membahagiakan Devi. Meskipun itu masih sederhana. Ah tak terasa sebentar lagi Devi akan melahirkan, dan uang kami sepertinya masih belum cukup untuk biaya persalinan serta biaya keperluan bayi kami. Sekarang dalam doa-doaku aku selalu memintaNya untuk melancarkan penjualan peti matiku. Meskipun itu artinya secara tidak langsung memintaNya untuk banyak mencabut nyawa orang-orang disekitarku, Tapi aku hanya bisa bergantung pada penjualan peti mati ini. Aku yakin Dia mau mengerti. Bukan maksudku untuk meminta orang meninggal setiap hari hanya agar peti matiku laris.
-Tamat-

1 komentar: